Minggu, 13 Desember 2009

KEDUDUKAN LEMBAGA NEGARA BANTU DALAM SISTEM HUKUM KETATANEGARAAN INDONESIA

Kali ini sekali-sekali saya akan mencoba menulis tentang Hukum Tata Negara, biasanya sesuai dengan bidang saya, saya selalu menulis tentang Hukum Administrasi Negara...Hal ini tujuannya sebagai refreshing agar tidak bosan dan rencananya sebagai palang pintu kepada tulisan saya yang berikutnya tentang "Kedudukan KPK Dalam Hukum Konstitusi Indonesia" yang sekian lama saya penasaran untuk membahasnya namun baru sekarang dapat idenya hehehehe dan memang ini ada kaitannya dengan Hukum Administrasi Negara Heteronom yang memberikan kewenagan-kewengan terhadap lembaga negara bantu ini...Oya buat teman2 saya yang dari Hukum Tata Negara sekali-kali saya ikut nimbrung tentang HTN ya hehehehe...Ok mari kita mulai pembahasan mengenai "Kedudukan Lembaga Negara Bantu Didalam Sistem Hukum Ketatanegaraan Indonesia".

A. PENGERTIAN LEMBAGA NEGARA BANTU

Kemunculan lembaga negara yang dalam pelaksanaan fungsinya tidak secara jelas memosisikan diri sebagai salah satu dari tiga lembaga trias politica mengalami
perkembangan pada tiga dasawarsa terakhir abad ke-20 di negara-negara yang telah mapan berdemokrasi, seperti Amerika Serikat dan Perancis. Banyak istilah untuk
menyebut jenis lembaga-lembaga baru tersebut, diantaranya adalah state auxiliary institutions atau state auxiliary organs yang apabila diterjemahkan secara harfiah ke dalam bahasa Indonesia berarti institusi atau organ negara penunjang. Istilah “lembaga negara bantu” merupakan yang paling umum digunakan oleh para pakar dan
sarjana hukum tata negara, walaupun pada kenyataannya terdapat pula yang berpendapat bahwa istilah “lembaga negara penunjang” atau “lembaga negara independen” lebih
tepat untuk menyebut jenis lembaga tersebut. M. Laica Marzuki cenderung mempertahankan istilah state auxiliary institutions alih-alih “lembaga negara bantu” untuk menghindari kerancuan dengan lembaga lain yang berkedudukan di bawah lembaga negara konstitusional. Kedudukan lembaga-lembaga ini tidak berada dalam ranah cabang kekuasaan eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Namun, tidak pula lembaga-lembaga tersebut dapat diperlakukan sebagai organisasi swasta ataupun lembaga non-pemerintah yang lebih sering disebut ornop (organisasi non-pemerintah) atau NGO non-governmental
organization). Lembaga negara bantu ini sekilas memang menyerupai NGO karena berada di luar struktur pemerintahan eksekutif. Akan tetapi, keberadaannya yang bersifat publik, sumber pendanaan yang berasal dari publik, serta bertujuan untuk kepentingan publik, membuatnya tidak dapat disebut sebagai NGO dalam arti sebenarnya. Sebagian ahli tetap mengelompokkan lembaga independen semacam ini dalam lingkup kekuasaan
eksekutif, namun terdapat pula beberapa sarjana yang menempatkannya secara tersendiri sebagai cabang keempat dalam kekuasaan pemerintahan.

Secara teoritis, lembaga negara bantu bermula dari kehendak negara untuk membuat lembaga negara baru yang pengisian anggotanya diambil dari unsur non-negara, diberi otoritas negara, dan dibiayai oleh negara tanpa harus menjadi pegawai negara. Gagasan lembaga negara bantu sebenarnya berawal dari keinginan negara yang
sebelumnya kuat ketika berhadapan dengan masyarakat, rela untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mengawasi. Jadi, meskipun negara masih tetap kuat, ia diawasi oleh masyarakat sehingga tercipta akuntabilitas vertikal dan akuntabilitas horizontal. Munculnya lembaga negara bantu dimaksudkan pula untuk menjawab tuntutan masyarakat atas terciptanya prinsip-prinsip demokrasi dalam setiap penyelenggaraan pemerintahan melalui lembaga yang akuntabel, independen, serta dapat
dipercaya.

Selain itu, faktor lain yang memicu terbentuknya lembaga negara bantu adalah terdapatnya kecenderungan dalam teori administrasi kontemporer untuk mengalihkan
tugas-tugas yang bersifat regulatif dan administratif menjadi bagian dari tugas lembaga independen. Berkaitan dengan sifatnya tersebut, John Alder mengklasifikasikan
jenis lembaga ini menjadi dua, yaitu: (1) regulatory, yang berfungsi membuat aturan serta melakukan supervisi terhadap aktivitas hubungan yang bersifat privat; dan (2)
advisory, yang berfungsi memberikan masukan atau nasihat kepada pemerintah.

Jennings, sebagaimana dikutip Alder dalam Constitutional and Administrative Law, menyebutkan lima alasan utama yang melatarbelakangi dibentuknya lembaga negara bantu dalam suatu pemerintahan, alasan-alasan itu adalah sebagai berikut.

1. Adanya kebutuhan untuk menyediakan pelayanan budaya dan pelayanan yang bersifat personal yang diharapkan bebas dari risiko campur tangan politik.

2. Adanya keinginan untuk mengatur pasar dengan regulasi yang bersifat non-politik.

3. Perlunya pengaturan mengenai profesi-profesi yang bersifat independen, seperti profesi di bidang kedokteran dan hukum.

4. Perlunya pengadaan aturan mengenai pelayanan-pelayanan yang bersifat teknis.

5. Munculnya berbagai institusi yang bersifat semiyudisial dan berfungsi untuk menyelesaikan sengketa di luar pengadilan (alternative dispute resolution/
alternatif penyelesaian sengketa).

B. KEDUDUKAN LEMBAGA NEGARA BANTU DIDIDALAM SISTEM HUKUM KETATANEGARAAN INDONESIA

Kecenderungan lahirnya berbagai lembaga negara bantu sebenarnya sudah terjadi sejak runtuhnya kekuasaan orde baru Presiden Soeharto. Kemunculan lembaga baru seperti ini
pun bukan merupakan satunya-satunya di dunia. Di negara yang sedang menjalani proses transisi menuju demokrasi juga lahir lembaga tambahan negara yang baru. Berdirinya
lembaga negara bantu merupakan perkembangan baru dalam sistem pemerintahan. Teori klasik trias politica sudah tidak dapat lagi digunakan untuk menganalisis relasi
kekuasaan antarlembaga negara. Untuk menentukan institusi mana saja yang disebut
sebagai lembaga negara bantu dalam struktur ketatanegaraan RI terlebih dahulu harus dilakukan pemilahan terhadap lembaga-lembaga negara berdasarkan dasar pembentukannya. Pascaperubahan konstitusi, Indonesia membagi lembaga-lembaga negara ke dalam tiga kelompok. Pertama, lembaga negara yang dibentuk berdasar atas perintah UUD Negara RI Tahun 1945 (constitutionally entrusted power). Kedua, lembaga negara yang dibentuk berdasarkan perintah undang-undang (legislatively entrusted power).

Dan ketiga, lembaga negara yang dibentuk atas dasar perintah keputusan presiden.
Lembaga negara pada kelompok pertama adalah lembaga-lembaga negara yang kewenangannya diberikan secara langsung oleh UUD Negara RI Tahun 1945, yaitu Presiden
dan Wakil Presiden, MPR, DPR, DPD, BPK, MA, MK, dan KY. Selain delapan lembaga tersebut, masih terdapat beberapa lembaga yang juga disebut dalam UUD Negara RI Tahun 1945 namun kewenangannya tidak disebutkan secara eksplisit oleh konstitusi. Lembaga-lembaga yang dimaksud adalah Kementerian Negara, Pemerintah Daerah, komisi pemilihan umum, bank sentral, Tentara Nasional Indonesia (TNI), Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), dan dewan pertimbangan presiden. Satu hal yang perlu ditegaskan adalah kedelapan lembaga negara yang sumber kewenangannya berasal langsung dari konstitusi tersebut merupakan pelaksana kedaulatan rakyat dan berada dalam suasana yang setara, seimbang, serta independen satu sama lain.

Berikutnya, berdasarkan catatan lembaga swadaya masyarakat Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), paling tidak terdapat sepuluh lembaga negara yang dibentuk atas dasar perintah undang-undang. Lembaga-lembaga tersebut adalah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia (Komnas Perlindungan Anak), Komisi Kepolisian Nasional, Komisi Kejaksaan, Dewan Pers, dan Dewan Pendidikan. Jumlah ini kemungkinan dapat bertambah atau berkurang mengingat
lembaga negara dalam kelompok ini tidak bersifat permanen melainkan bergantung pada kebutuhan negara. Misalnya, KPK dibentuk karena dorongan kenyataan bahwa fungsi lembaga-lembaga yang sudah ada sebelumnya, seperti kepolisian dan kejaksaan, dianggap tidak maksimal atau tidak efektif dalam melakukan pemberantasan korupsi. Apabila kelak, korupsi dapat diberantas dengan efektif oleh kepolisian dan kejaksaan, maka keberadaan KPK dapat ditinjau kembali.

Sementara itu, lembaga negara pada kelompok terakhir atau yang dibentuk berdasarkan perintah dan kewenangannya diberikan oleh keputusan presiden antara lain adalah
Komisi Ombudsman Nasional (KON), Komisi Hukum Nasional (KHN), Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Dewan Maritim Nasional (DMN), Dewan Ekonomi Nasional (DEN), Dewan Pengembangan Usaha Nasional (DPUN), Dewan Riset Nasional (DRN), Dewan Pembina Industri Strategis (DPIS), Dewan Buku Nasional (DBN),
serta lembaga-lembaga non-departemen. Sejalan dengan lembaga-lembaga negara pada kelompok kedua, lembagalembaga negara dalam kelompok yang terakhir ini pun
bersifat sementara bergantung pada kebutuhan negara.

Lembaga-lembaga negara dalam dua kelompok terakhir inilah yang disebut dalam tulisan ini sebagai lembaga negara bantu. Pembentukan lembaga-lembaga negara yang
bersifat mandiri ini secara umum disebabkan oleh adanya ketidakpercayaan publik terhadap lembaga-lembaga negara yang ada dalam menyelesaikan persoalan ketatanegaraan. Selain itu pada kenyataannya, lembaga-lembaga negara yang telah ada belum berhasil memberikan jalan keluar dan menyelesaikan persoalan yang ada ketika tuntutan perubahan dan perbaikan semakin mengemuka seiring dengan berkembangnya paham demokrasi di Indonesia.

Pada dasarnya, pembentukan lembaga-lembaga negara bantu yang bersifat mandiri dan independen di Indonesia dilandasi oleh lima hal penting yang dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Rendahnya kredibilitas lembaga-lembaga negara yang telah ada sebelumnya akibat adanya asumsi dan bukti mengenai korupsi yang mengakar dan sulit diberantas.

2. Tidak independennya lembaga-lembaga negara yang karena alasan tertentu tunduk di bawah pengaruh suatu kekuasaan tertentu.

3. Ketidakmampuan lembaga-lembaga negara yang telah ada dalam melakukan tugas-tugas yang harus dilakukan pada masa transisi menuju demokrasi, baik karena persoalan internal maupun persoalan eksternal.

4. Adanya pengaruh global yang menunjukkan adanya kecenderungan beberapa negara untuk membentuk lembaga-lembaga negara tambahan, baik yang disebut sebagai state auxiliary institutions/organs/agencies maupun institutional watchdog (lembaga pengawas), yang dianggap sebagai suatu kebutuhan dan keharusan karena lembaga-lembaga negara yang telah ada merupakan bagian dari sistem yang harus diperbaiki.

5. Adanya tekanan dari lembaga-lembaga internasional untuk membentuk lembaga-lembaga negara tambahan tersebut sebagai prasyarat menuju demokratisasi.

Pembentukan lembaga-lembaga negara bantu tersebut juga harus memiliki landasan pijak yang kuat dan paradigma yang jelas. Dengan demikian, keberadaannya dapat membawa manfaat bagi kepentingan publik pada umumnya serta bagi penataan sistem ketatanegaraan pada khususnya. Ni’matul Huda, mengutip Firmansyah Arifin,dkk. dalam Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan Antarlembaga Negara, mengatakan bahwa aspek kuantitas lembaga-lembaga tersebut tidak menjadi masalah asalkan keberadaan dan pembentukannya mencerminkan prinsip-prinsip sebagai berikut:

1. Prinsip konstitusionalisme. Konstitusionalisme adalah gagasan yang menghendaki agar kekuasaan para pemimpin dan badan-badan pemerintahan yang ada dapat dibatasi. Pembatasan tersebut dapat diperkuat sehingga menjadi suatu mekanisme yang tetap. Dengan demikian, pembentukan lembaga-lembaga negara bantu ditujukan untuk menegaskan dan memperkuat prinsip-prinsip konstitusionalisme agar hak-hak dasar warga negara semakin terjamin serta demokrasi dapat terjaga.

2. Prinsip checks and balances. Ketiadaan mekanisme checks and balances dalam sistem bernegara merupakan salah satu penyebab banyaknya penyimpangan di masa lalu. Supremasi MPR dan dominasi kekuatan eksekutif dalam praktik pemerintahan pada masa prareformasi telah menghambat proses demokrasi secara sehat. Ketiadaan mekanisme saling kontrol antarcabang kekuasaan tersebut mengakibatkan pemerintahan yang totaliter serta munculnya praktik penyalahgunaan kekuasaan atau abuse of power. Prinsip checks and balances menjadi roh bagi pembangunan dan pengembangan demokrasi. Pembentukan organ-organ kelembagaan negara harus bertolak dari kerangka dasar sistem UUD Negara RI Tahun 1945 untuk menciptakan mekanisme checks and balances.

3. Prinsip integrasi. Selain harus mempunyai fungsi dan kewenangan yang jelas, konsep kelembagaan negara juga harus membentuk suatu kesatuan yang berproses dalam melaksanakan fungsinya. Pembentukan suatu lembaga negara tidak dapat dilakukan secara parsial, melainkan harus dikaitkan keberadaannya dengan lembaga-lembaga lain yang telah eksis. Proses pembentukan lembaga-lembaga negara yang tidak integral dapat mengakibatkan tumpang-tindihnya kewenangan antarlembaga yang ada sehingga
menimbulkan inefektivitas penyelenggaraan pemerintahan.

4. Prinsip kemanfaatan bagi masyarakat. Pada dasarnya, pembentukan lembaga negara ditujukan untuk memenuhi kesejahteraan warganya serta menjamin hak-hak dasar warga negara yang diatur dalam konstitusi. Oleh karena itu, penyelenggaraan pemerintahan serta pembentukan lembaga-lembaga politik dan hukum harus mengacu kepada prinsip pemerintahan, yaitu harus dijalankan untuk kepentingan umum dan kebaikan masyarakat secara keseluruhan serta tetap memelihara hak-hak individu warga negara.

Dalam proses transisi pemerintahan, di Indonesia telah lahir berbagai lembaga negara tambahan seperti telah diuraikan di atas. Akan tetapi, berbeda dengan pembentukan state auxiliary institutions di negara-negara lain, lembaga negara bantu di Indonesia dibentuk dengan proses yang tak seragam. Beberapa didirikan dengan dasar
hukum undang-undang (lembaga negara kelompok kedua), sementara sebagian lainnya dibentuk atas dasar perintah keputusan presiden (lembaga negara kelompok ketiga).
Bahkan, pada masa awal era reformasi, ada pula lembaga negara bantu yang berdiri atas amanat Ketetapan MPR, seperti Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara
(KPKPN), serta Surat Keputusan Jaksa Agung, yaitu Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK). Namun dalam perjalanannya, karena berbagai sebab, kedua
lembaga negara bantu tersebut akhirnya dibubarkan.

Gambaran di atas menunjukkan bahwa yang menjadi latar belakang bertebarannya lembaga-lembaga negara bantu dalam struktur ketatanegaraan RI bukanlah desain konstitusional yang dapat menjadi payung hukum untuk mempertahankan eksistensinya melainkan isu-isu insidental yang diharapkan dapat menjawab persoalan yang dihadapi. Kenyataan ini setidaknya membawa dua akibat sebagai berikut:

Pertama, legitimasi yuridis bagi keberadaan lembaga-lembaga negara bantu itu sangat lemah sehingga senantiasa menghadapi kendala dalam menjalankan kewenangannya.

Kedua, lembaga-lembaga negara bantu itu berjalan secara sendiri-sendiri tanpa ada sistematika kerja yang sinergis dan dapat mendukung satu sama lain, sehingga hasil kerja suatu lembaga negara bantu seringkali kurang dirasakan manfaatnya oleh lembaga
negara bantu lainnya. Kedua hal tersebut di atas akhirnya mengakibatkan efektivitas keberadaan lembaga negara bantu dalam struktur ketatanegaraan masih belum tampak sesuai dengan tujuan awal pembentukan lembaga yang bersifat ekstraeksekutif, kstralegislatif, dan ekstrayudikatif itu.

Selasa, 01 Desember 2009

TINDAKAN ADMINISTRASI NEGARA DALAM OPERASIONALISASI KEWENAGANNYA DALAM NEGARA HUKUM

Tindakan Pemerintahan dalam Negara Hukum

Dalam melakukan aktifitasnya, pemerintah melakukan dua macam tindakan, tindakan biasa (feitelijkehandelingen) dan tindakan hukum (rechtshandeli-ngen). Dalam kajian hukum, yang terpenting untuk dikemukakan adalah tindakan dalam katagori kedua, rechtshandelingen. Tindakan hukum pemerintahan adalah tindakan yang dilakukan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dalam rangka melaksanakan urusan pemerintahan. Tindakan pemerintahan memiliki beberapa unsur yaitu sebagai berikut :
• Perbuatan itu dilakukan oleh aparat Pemerintah dalam kedudukannya sebagai Penguasa maupun sebagai alat perlengkapan pemerintahan (bestuurs-organen) dengan prakarsa dan tanggung jawab sendiri;
• Perbuatan tersebut dilaksanakan dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan;
• Perbuatan tersebut dimaksudkan sebagai sarana untuk menimbulkan akibat hukum di bidang hukum administrasi;
• Perbuatan yang bersangkutan dilakukan dalam rangka pemeliharaan kepentingan negara dan rakyat.

Dalam negara hukum, setiap tindakan pemerintahan harus berdasarkan atas hukum, karena dalam negara negara terdapat prinsip wetmatigheid van bestuur atau asas legalitas. Asas ini menentukan bahwa tanpa adanya dasar wewenang yang diberikan oleh suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka segala macam aparat pemerintah tidak akan memiliki wewenang yang dapat mempengaruhi atau mengubah keadaan atau posisi hukum warga masyarakatnya. Asas legalitas menurut Sjachran Basah , berarti upaya mewujudkan duet integral secara harmonis antara paham kedaulatan hukum dan paham kedaulatan rakyat berdasarkan prinsip monodualistis selaku pilar-pilar, yang sifat hakikatnya konstitutif.

Meskipun demikian, tidak selalu setiap tindakan pemerintahan tersedia peraturan peraundang-undangan yang mengaturnya. Dapat terjadi, dalam kondisi tertentu terutama ketika pemerintah harus bertindak cepat untuk menyelesaikan persoalan konkret dalam masyarakat, peraturan perundang-undangannya belum tersedia. Dalam kondisi seperti ini, kepada pemerintah diberikan kebebasan bertindak (discresionare power) yaitu melalui freies Ermessen, yang diartikan sebagai salah satu sarana yang memberikan ruang bergerak bagi pejabat atau badan-badan administrasi negara untuk melakukan tindakan tanpa harus terikat sepenuhnya pada undang-undang.

Freies Ermessen ini menimbulkan implikasi dalam bidang legislasi bagi pemerintah, yaitu lahirnya hak inisiatif untuk membuat peraturan perundang-undangan yang sederajat dengan UU tanpa persetujuan DPR, hak delegasi untuk membuat peraturan yang derajatnya di bawah UU, dan droit function atau kewenangan menafsirkan sendiri aturan-aturan yang masih bersifat enunsiatif.

Menurut Bagir Manan , kewenangan pemerintah untuk membentuk peraturan perundang-undangan karena beberapa alasan yaitu; Pertama, paham pembagian kekuasaan menekankan pada perbedaan fungsi daripada pemisahan organ, karena itu fungsi pembentukan peraturan tidak harus terpisah dari fungsi penyelenggaraan pemerintahan; Kedua, dalam negara kesejahteraan pemerintah membutuhkan instrumen hukum untuk menyelenggarakan kesejahteraan umum; Ketiga, untuk menunjang perubahan masyarakat yang cepat, mendorong administrasi negara berperan lebih besar dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.

Freies Ermessen merupakan konsekuensi logis dari konsepsi welfare state, akan tetapi dalam kerangka negara hukum, freies Ermessen ini tidak dapat digunakan tanpa batas. Atas dasar itu, Sjachran Basah mengemukakan unsur-unsur freies Ermessen dalam suatu negara hukum yaitu sebagai berikut :
1. Ditujukan untuk menjalankan tugas-tugas servis publik;
2. Merupakan sikap tindak yang aktif dari administrasi negara;
3. Sikap tindak itu dimungkinkan oleh hukum;
4. Sikap tindak itu diambil atas inisiatif sendiri;
5. Sikap tindak itu dimaksudkan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan penting yang timbul secara tiba-tiba;
6. Sikap tindak itu dapat dipertanggung jawab baik secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa maupun secara hukum.
Sumber-sumber Kewenangan Tindakan Pemerintahan

Kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah bersumbar pada tiga hal, atribusi, delegasi, dan mandat. Atribusi ialah pemberian kewenangan oleh pembuat undang-undang sendiri kepada suatu organ pemerintahan baik yang sudah ada maupun yang baru sama sekali. Menurut Indroharto, legislator yang kompeten untuk memberikan atribusi wewenang itu dibedakan antara :

Yang berkedudukan sebagai original legislator; di negara kita di tingkat pusat adalah MPR sebagai pembantuk konstitusi (konstituante) dan DPR bersama-sama Pemerintah sebagai yang melahirkan suatu undang-undang, dan di tingkat daerah adalah DPRD dan Pemerintah Daerah yang melahirkan Peraturan Daerah;

Yang bertindak sebagai delegated legislator : seperti Presiden yang berdasarkan pada suatu ketentuan undang-undang mengeluarkan Peraturan Pemerintah dimana diciptakan wewenang-wewenang pemerintahan kepada Badan atau Jabatan TUN tertentu.

Sedangkan yang dimaksud delegasi adalah penyerahan wewenang yang dipunyai oleh organ pemerintahan kepada organ yang lain. Dalam delegasi mengandung suatu penyerahan, yaitu apa yang semula kewenangan si A, untuk selanjutnya menjadi kewenangan si B. Kewenangan yang telah diberikan oleh pemberi delegasi selanjutnya menjadi tanggung jawab penerima wewenang. Adapun pada mandat, di situ tidak terjadi suatu pemberian wewenang baru maupun pelimpahan wewenang dari Badan atau Pejabat TUN yang satu kepada yang lain. Tanggung jawab kewenangan atas dasar mandat masih tetap pada pemberi mandat, tidak beralih kepada penerima mandat.

Fungsi-Fungsi Hukum Administrasi Negara

Dalam pengertian umum, menurut Budiono fungsi hukum adalah untuk tercapainya ketertiban umum dan keadilan. Ketertiban umum adalah suatu keadaan yang menyangkut penyelenggaraan kehidupan manusia sebagai kehidupan bersama. Keadaan tertib yang umum menyiratkan suatu keteraturan yang diterima secara umum sebagai suatu kepantasan minimal yang diperlukan, supaya kehidupan bersama tidak berubah menjadi anarki.

Menurut Sjachran Basah ada lima fungsi hukum dalam kaitannya dengan kehidupan masyarakat, yaitu sebagai berikut :
• Direktif, sebagai pengarah dalam membangun untuk membentuk masyarakat yang hendak dicapai sesuai dengan tujuan kehidupan bernegara.
• Integratif, sebagai pembina kesatuan bangsa.
• Stabilitatif, sebagai pemelihara (termasuk ke dalamnya hasil-hasil pembangunan) dan penjaga keselarasan, keserasian, dan keseimbangan dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat.
• Perfektif, sebagai penyempurna terhadap tindakan-tindakan administrasi negara, maupun sikap tindak warga negara dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat.
• Korektif, baik terhadap warga negara maupun administrasi negara dalam mendapatkan keadilan.

Secara spesifik, fungsi HAN dikemukakan oleh Philipus M. Hadjon , yakni fungsi normatif, fungsi instrumental, dan fungsi jaminan. Ketiga fungsi ini saling berkaitan satu sama lain. Fungsi normatif yang menyangkut penormaan kekuasaan memerintah jelas berkaitan erat dengan fungsi instrumental yang menetapkan instrumen yang digunakan oleh pemerintah untuk menggunakan kekuasaan memerintah dan pada akhirnya norma pemerintahan dan instrumen pemerintahan yang digunakan harus menjamin perlindungan hukum bagi rakyat.

Fungsi Normatif Hukum Administrasi Negara

Penentuan norma HAN dilakukan melalui tahap-tahap. Untuk dapat menemukan normanya kita harus meneliti dan melacak melalui serangkaian peraturan perundang-undangan. Artinya, peraturan hukum yang harus diterapkan tidak begitu saja kita temukan dalam undang-undang, tetapi dalam kombinasi peraturan-peraturan dan keputusan-keputusan TUN yang satu dengan yang lain saling berkaitan. Pada umumnya ketentuan undang-undang yang berkaitan dengan HAN hanya memuat norma-norma pokok atau umum, sementara periciannya diserahkan pada peraturan pelaksanaan.
Penyerahan ini dikenal dengan istilah terugtred atau sikap mundur dari pembuat undang-undang. Hal ini terjadi karena tiga sebab, yaitu :

1. Karena keseluruhan hukum TUN itu demikian luasnya, sehingga tidak mungkin bagi pembuat UU untuk mengatur seluruhnya dalam UU formal;
2. Norma-norma hukum TUN itu harus selalu disesuaikan dengan tiap perubahan-perubahan keadaan yang terjadi sehubungan dengan kemajuan dan perkembangan teknologi yang tidak mungkin selalu diikuti oleh pembuat UU dengan mengaturnya dalam suatu UU formal;
3. Di samping itu tiap kali diperlukan pengaturan lebih lanjut hal itu selalu berkaitan dengan penilaian-penilaian dari segi teknis yang sangat mendetail, sehingga tidak sewajarnya harus diminta pembuat UU yang harus mengaturnya. Akan lebih cepat dilakukan dengan pengeluaran peraturan-peraturan atau keputusan-keputusan TUN yang lebih rendah tingkatannya, seperti Keppres, Peraturan Menteri, dan sebagainya.

Seperti disebutkan di atas bahwa setiap tindakan pemerintah dalam negara hukum harus didasarkan pada asas legalitas. Hal ini berarti ketika pemerintah akan melakukan tindakan, terlebih dahulu mencari apakah legalitas tindakan tersebut ditemukan dalam undang-undang. Jika tidak terdapat dalam UU, pemerintah mencari dalam berbagai peraturan perundang-undangan terkait. Ketika pemerintah tidak menemukan dasar legalitas dari tindakan yang akan diambil, sementara pemerintah harus segera mengambil tindakan, maka pemerintah menggunakan kewenangan bebas yaitu dengan menggunakan freies Ermessen. Meskipun penggunaan freies Ermessen dibenarkan, akan tetapi harus dalam batas-batas tertentu.

Menurut Sjachran Basah pelaksanaan freies Ermessen harus dapat dipertanggung jawabkan, secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan secara hukum berdasarkan batas-atas dan batas-bawah. Batas-atas yaitu peraturan yang tingkat derajatnya lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang tingkat derajatnya lebih tinggi. Sedangkan batas-bawah ialah peraturan yang dibuat atau sikap-tindak administrasi negara (baik aktif maupun pasif), tidak boleh melanggar hak dan kewajiban asasi warga. Di samping itu, pelaksanaan freies Ermessen juga harus memperhatikan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Berdasarkan keterangan singkat ini dapat dikatakan bahwa fungsi normatif HAN adalah mengatur dan menentukan penyelenggaraan pemerintahan agar sesuai dengan gagasan negara hukum yang melatarbelakanginya, yakni negara hukum Pancasila.

Fungsi Instrumental Hukum Administrasi Negara

Pemerintah dalam melakukan berbagai kegiatannya menggunakan instrumen yuridis seperti peraturan, keputusan, peraturan kebijaksanaan, dan sebagainya. Sebagaimana telah disebutkan bahwa dalam negara sekarang ini khususnya yang mengaut type welfare state, pemberian kewenangan yang luas bagi pemerintah merupakan konsekuensi logis, termasuk memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk menciptakan berbagai instrumen yuridis sebagai sarana untuk kelancaran penyelenggaraan pemerintahan.

Pembuatan instrumen yuridis oleh pemerintah harus didasarkan pada ketentuan hukum yang berlaku atau didasarkan pada kewenangan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan. Hukum Administrasi Negara memberikan beberapa ketentuan tentang pembuatan instrumen yuridis, sebagai contoh mengenai pembuatan keputusan. Di dalam pembuatan keputusan, HAN menentukan syarat material dan syarat formal, yaitu sebagai berikut :
Syarat-syarat material :
• Alat pemerintahan yang mem buat keputusan harus berwenang;
• Keputusan tidak boleh mengandung kekurangan-kekurangan yuridis seperti penipuan, paksaan, sogokan, kesesatan, dan kekeliruan;
• Keputusan harus diberi bentuk sesuai dengan peraturan dasarnya dan pembuatnya juga harus memperhatikan prosedur membuat keputusan;
• Isi dan tujuan keputusan itu harus sesuai dengan isi dan tujuan peraturan dasarnya.
Syarat-syarat formal :
• Syarat-syarat yang ditentukan berhubung dengan persiapan dibuatnya keputusan dan berhubung dengan cara dibuatnya keputusan harus dipenuhi;
• Harus diberi dibentuk yang telah ditentukan;
• Syarat-syarat berhubung de-ngan pelaksanaan keputusan itu dipenuhi;
• Jangka waktu harus ditentukan antara timbulnya hal-hal yang menyebabkan dibuatnya dan diumumkannya keputusan itu dan tidak boleh dilupakan.
Berdasarkan persyaratan yang ditentukan HAN, maka peyelenggarakan pemerintahan akan berjalan sesuai dengan aturan hukum yang berlaku dan sejalan dengan tuntutan negara berdasarkan atas hukum, terutama memberikan perlindungan bagi warga masyarakat.

Fungsi Jaminan Hukum Administrasi Negara

Menurut Sjachran Basah, perlindungan terhadap warga diberikan bilamana sikap tindak administrasi negara itu menimbulkan kerugian terhadapnya. Sedangkan perlindungan terhadap administrasi negara itu sendiri, dilakukan terhadap sikap tindaknya dengan baik dan benar menurut hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Dengan perkataan lain, melindungi administrasi negara dari melakukan perbuatan yang salah menurut hukum.Di dalam negara hukum Pancasila, perlindungan hukum bagi rakyat diarahkan kepada usaha-usaha untuk mencegah terjadinya sengketa antara pemerintah dan rakyat, menyelesaikan sengketa antara pemerintah dan rakyat secara musayawarah serta peradilan merupakan sarana terakhir dalam usaha menyelesaikan sengketa antara pemerintah dengan rakyat.Dengan adanya UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, menurut Paulus E. Lotulung, sesungguhnya tidak semata-mata memberikan perlindungan terhadap hak-hak perseorangan, tetapi juga sekaligus melindungi hak-hak masyarakat, yang menimbulkan kewajiban-kewajiban bagi perseorangan. Hak dan kewajiban perseorangan bagi warga masyarakat harus diletakan dalam keserasian, keseimbangan, dan keselarasan antara kepentingan perseorangan dengan kepentingan masyarakat, sesuai dengan prinsip yang terkandung dalam falsafah negara dan bangsa kita, yaitu Pancasila.

Berdasarkan pemaparan fungsi-fungsi HAN ini, dapatlah disebutkan bahwa dengan menerapkan fungsi-fungsi HAN ini akan tercipta pemerintahan yang bersih, sesuai dengan prinsip-prinsip negara hukum. Pemerintah menjalankan aktifitas sesuai dengan ketentuan yang berlaku atau berdasarkan asas legalitas, dan ketika menggunakan freies Ermessen, pemerintah memperhatikan asas-asas umum yang berlaku sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan hukum. Ketika pemerintah menciptakan dan menggunakan instrumen yuridis, maka dengan mengikuti ketentuan formal dan material penggunaan instrumen tersebut tidak akan menyebabkan kerugian terhadap masyarakat. Dengan demikian, jaminan perlindungan terhadap warga negarapun akan terjamin dengan baik.

Mewujudkan Pemerintahan yang Baik

Meskipun diketahui bahwa penyelenggaraan negara dilakukan oleh beberapa lembaga negara, akan tetapi aspek penting penyelenggaraan negara terletak pada aspek pemerintahan. Dalam sistem pemerintahan Indonesia, Presiden memiliki dua kedudukan, sebagai salah satu organ negara yang bertindak untuk dan atas nama negara, dan sebagai penyelenggara pemerintahan atau sebagai administrasi negara. Sebagai administrasi negara, pemerintah diberi wewenang baik berdasarkan atribusi, delegasi, ataupun mandat untuk melakukan pembangunan dalam rangka merealisir tujuan-tujuan negara yang telah ditetapkan oleh MPR. Dalam melaksanakan pembangunan, pemerintah berwenang untuk melakukan pengaturan dan memberikan pelayanan terhadap masyarakat. Agar tindakan pemerintah dalam menjalankan pembangunan dan melakukan pengaturan serta pelayanan ini berjalan dengan baik, maka harus didasarkan pada aturan hukum. Di antara hukum yang ada ialah Hukum Administrasi Negara, yang memiliki fungsi normatif, fungsi instrumental, dan fungsi jaminan. Seperti telah disebutkan di atas, fungsi normatif yang menyangkut penormaan kekuasaan memerintah berkaitan dengan fungsi instrumental yang menetapkan instrumen yang digunakan oleh pemerintah untuk menggunakan kekuasaan memerintah dan norma pemerintahan dan instrumen pemerintahan yang digunakan harus menjamin perlindungan hukum bagi rakyat.

Ketika pemerintah akan menjalankan pemerintahan, maka kepada pemerintah diberikan kekuasaan, yang dengan kekuasaan ini pemerintah melaksanakan pembangunan, pengaturan dan pelayanan. Agar kekuasaan ini digunakan sesuai dengan tujuan diberikannya, maka diperlukan norma-norma pengatur dan pengarah. Dalam Penyelenggaraan pembangunan, pengaturan, dan pelayanan, pemerintah menggunakan berbagai instrumen yuridis. Pembuatan dan pelaksanaan instrumen yuridis ini harus didasarkan pada legalitas dengan mengikuti dan mematuhi persyaratan formal dan metarial. Dengan didasarkan pada asas legalitas dan mengikuti persyaratan, maka perlindungan bagi administrasi negara dan warga masyarakat akan terjamin. Dengan demikian, pelaksanaan fungsi-fungsi HAN adalah dengan membuat penormaan kekuasaan, mendasarkan pada asas legalitas dan persyaratan, sehingga memberikan jaminan perlindungan baik bagi administrasi negara maupun warga masyarakat.
Upaya Meningkatkan Pemerintahan yang Baik

Penyelenggaraan pemerintahan tidak selalu berjalan sebagaimana yang telah ditentukan oleh aturan yang ada. Bahkan sering terjadi penyelenggaraan pemerintahan ini menimbulkan kerugian bagi rakyat baik akibat penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir) maupun tindakan sewenang-wenang (willekeur). Perbuatan pemerintah yang sewenang-wenang terjadi apabila terpenuhi unsur-unsur; pertama, penguasa yang berbuat secara yuridis memeliki kewenangan untuk berbuat (ada peraturan dasarnya); kedua, dalam mempertimbangkan yang terkait dalam keputusan yang dibuat oleh pemerintah, unsur kepentingan umum kurang diperhatikan; ketiga, perbuatan tersebut menimbulkan kerugian konkret bagi pihak tertentu.

Dampak lain dari penyelenggaraan pemerintahan seperti ini adalah tidak terselenggaranya pembangunan dengan baik dan tidak terlaksananya pengaturan dan pelayanan terhadap masyarakat sebagaimana mestinya. Upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan penyelenggaraan pemerintahan adalah antara lain dengan mengefektifkan pengawasan baik melalui pengawasan lembaga peradilan, pengawasan dari masyarakat, maupun pengawasan melalui lembaga ombusdman. Di samping itu juga dengan menerapkan asas-asas umum pemerintahan yang baik.

CIRI-CIRI HUKUM ADMINISTRASI NEGARA YANG DIHARAPKAN
• Berorientasi kepada kesejahteraan masyarakat bukan kepada kekuasaan atau kewenangan semata
• Dibangun berdasar paradigma hukum yang mengabdi kepada kepentingan masyarakat dan bukan masyarakat yang harus mengabdi kepada hukum
• Dibangun berdasarkan kepercayaan (based on trust) dan bukan kecurigaan (based on suspect), serta
• Pemahaman hukum sebagai satu kesatuan nilai kemanfatan (utility) dan bukan sekadar norma positif (legality)
• Berorientasi kepada hasil (outcome) dan bukan hanya kepada pemenuhan prosedur
• Bersifat tidak hanya responsif tapi harus progresif
• Membuka lebih besar pintu dan ruang partisipasi masyarakat
• Hukum yang mampu mendukung dinamika administrasi negara dan kalau perlu justru menjadi motivator penggerak pengembangan, dan bukan hukum yang menghalangi
• Mampu memberikan rasa aman baik kepada masyarakat maupun administratur
• Pertanggungjawaban administratur yang jelas
• Peradilan yang berwibawa

KESIMPULAN

Maka dalam usaha untuk mencapai suatu bentuk pemerintahan yang ideal dalam pengoperasionalisasian kewenangan Administrasi Negara dalam negara hukum bukan dengan Kriminalisasi Hukum Administrasi Negara, melainkan dengan cara-cara berikut ini :

Menciptakan Efektivitas Hukum

Kekuasaan negara berhubungan erat dengan konstitusi. Menurut Bagir Manan, tidak ada satupun negara di dunia ini yang tidak memiliki konstitusi apapun wujud dan ruang lingkupnya. Konstitusi mengatur organisasi negara dan susunan pemerintahan. Di mana ada organisasi negara dan kebutuhan menyusun suatu pemerintahan negara, akan selalu diperlukan konstitusi. Bagir Manan menunjuk hakikat konstitusi sebagai perwujudan paham tentang konstitusi atau konstitusionalisme yaitu pembatasan terhadap kekuasaan pemerintahan di satu pihak dan jaminan terhadap hak-hak warganegara maupun setiap penduduk di pihak lain.

Tetapi, Bagir Manan juga mengingatkan bahwa adanya rangkaian kaidah atau ketentuan yang membatasi kekuasaan pemerintah disertai jaminan hak-hak dasar belum berarti hakikat konstitusi telah diwujudkan. Kesemuanya harus dilihat dalam kehidupan sehari-hari negara yang bersangkutan. Suatu negara mungkin memilih rangkaian kaidah konstitusi yang lengkap, tetapi bukan negara konstitusional. Sebab dalam kenyataan pemerintah negara tersebut menjalankan kekuasaan tanpa batas dan hak-hak rakyat sama sekali ditelantarkan.

Dalam hal ini konstitusi sebenarnya membawa pesan tentang bagaimana kekuasaan pemerintah distrukturkan. Isi dari konstitusi memang berbeda-beda antarnegara, namun pada intinya sering memuat 4 fungsi sebagai berikut. Pertama, konstitusi memberikan rancangan bagi terbentuknya struktur pemerintahan. Kedua, konstitusi memberikan kekuasaan bagi unit-unit pemerintahan. Ketiga, konstitusi menyatakan konsensus tentang tujuan apa yang akan dicapai oleh suatu pemerintah. Asumsi dasarnya adalah bahwa tidak ada masyarakat yang tidak majemuk, baik secara kultural, profesi, maupun etnik. Mengingat hukum berisi kemajemukan semacam ini, kepentingan yang sangat beragam selalu hadir dalam masyarakat. Kehadiran konstitusi dalam konteks kemajemukan semacam ini dapat juga disebutkan sebagai refleks adanya konsensus tersebut. Keempat, konstitusi menciptakan suatu pemerintahan yang stabil untuk perubahan pemerintah. Biasanya ada 2 rumusan dasar yang implisit terkandung di dalam konstitusi yaitu formula untuk mewujudkan “stabilitas” dan formula untuk mengijinkan adanya perubahan.

Singkat kata, suatu konstitusi merupakan buatan manusia dan dirumuskan oleh pemimpin-pemimpin negara dan para sarjana serta praktisi politik untuk dipatuhi rakyat. Ini merupakan fenomena sosial dan mencerminkan adanya nilai-nilai, ide-ide, kepentingan-kepentingan golongan, dan juga kepentingan perumusnya. Suatu konstitusi dengan demikian dipahami sebagai produk dari suatu proses politik yang seharusnya secara demokratis menampung dan menyalurkan aspirasi-aspirasi politik yang utama, yang sebenarnya mencerminkan pandangan rakyat tentang tata norma etis sosial, ketertiban umum, keadilan, tata nilai sosial, dan budaya, peranan serta hubungan antar lembaga-lembaga sosial. Di samping itu, melalui konstitusi rakyat juga menyatakan keinginan tentang bagaimana persoalan peralihan kekuasaan negara harus dilakukan dan bagaimana kekuasaan itu harus diselenggarakan oleh pemerintah. Dengan cara demikian, konstitusi sebenarnya merupakan instrumen untuk merakyatkan pemerintah sebagai penyelenggara kekuasaan negara dan menjauhkannya dari kemungkinan untuk menjadi kekuasaan absolut itu sendiri. Namun karena konstitusi dibuat bukan hanya untuk dijalankan oleh pemerintah belaka, melainkan juga seluruh rakyat, pada akhirnya dia merupakan seperangkat aturan permainan yang mengikat bagi pihak yang mengemban mandat untuk memerintah maupun bagi mereka yang memberikan mandat tersebut.

Tetapi kadang-kadang konstitusi, entah disengaja atau karena substansinya yang tidak memuaskan, sering dimanfaatkan oleh segelintir penguasa guna mengintepretasikannya sendiri atau dengan mengubah konstitusi sesuai dengan kehendaknya. Keadaan demikian sudah barang tentu akan mengurangi kadar keseimbangan politik yang diatur oleh konstitusi. Dimaksudkan dengan keseimbangan politik di sini bukanlah sekadar keseimbangan diantara kepentingan atau aspirasi politik yang hidup di tengah masyarakat. Keseimbangan politik semacam itu malahan tidak pernah ada, jika berdasarkan prinsip demokrasi hanya aspirasi politik yang mewakili kaum mayoritas yang bisa mengirimkan kaum mayoritas itu ke kursi pemerintahan. Konstitusi modern dengan demikian menghendaki keseimbangan proporsional ketimbang mengagungkan kepentingan mayoritas semata. Artinya, mayoritas politik yang berkuasa semestinya akan menampung aspirasi politik yang menjadi kepentingannya seandainya ia berposisi sebagai minoritas politik. Konsekuensi lebih jauh adalah keseimbangan politik merupakan keadaan di mana perselisihan politik dan masyarakat diselesaikan secara transparan dan rasional menurut tolok ukur yang diatur oleh konstitusi. Jika perselisihan politik masih diselesaikan di luar kerangka konstitusi dan hukum yang tersedia, maka konstitusi dan keseluruhan kompleks hukum yang bersandar kepadanya itu bukan saja tidak berlaku, negara yang bersangkutan malahan harus dianggap sebagai masih berada dalam tahapan pra negara hukum.

Sejauh mana hukum mampu menjalankan fungsinya secara normal untuk melakukan pembatasan kekuasaan berhubungan dengan konsekuensi dan efektivitas keberlakuan hukum (rechtsgelding) . Menurut Bruggink ada 3 (tiga) macam keberlakuan hukum, yaitu:

1. Keberlakuan normatif atau keberlakuan formal kaidah hukum, yaitu jika suatu kaidah merupakan bagian dari suatu sistem kaidah hukum tertentu yang di dalamnya terdapat kaidah-kaidah hukum itu saling menunjuk. Sistem kaidah hukum terdiri atas keseluruhan hirarki kaidah hukum khusus yang bertumpu kepada kaidah hukum umum, kaidah khusus yang lebih rendah diderivasi dari kaidah hukum umum yang lebih tinggi;

2. Keberlakuan faktual atau keberlakuan empiris kaidah hukum, yaitu keberlakuan secara faktual atau efektif, jika para warga masyarakat, untuk setiap kaidah hukum itu berlaku, mematuhi kaidah hukum tersebut. Keadaan itu dapat dinilai dari penelitian empiris; dan
3. Keberlakuan evaluatif kaidah hukum, yaitu jika kaidah hukum itu berdasarkan isinya dipandang bernilai. Dalam menentukan keadaan keberlakuan evaluatif, dapat didekati secara empiris dan cara keinsafan.

Soerjono Soekanto mengemukakan konsep pengaruh hukum sebagai sikap tindak atau perilaku yang dikaitkan dengan suatu kaidah hukum yang isinya, berupa larangan, suruhan, atau kebolehan. Keberhasilan atau kegagalan hukum diukur dari keberhasilannya mengatur sikap tindak atauperilaku tetrentu sehingga sesuai dengan tujuan tertentu. Sikap tindak atau perilaku yang sesuai dengan tujuan tersebut disebut ‘positif’ aatau ‘efektif’, sedangkan sikap tindak yang tidak sesuai dengan tujuan atau perilaku yang menjauhi tujuan dinamakan ‘negatif’ atau ‘tidak efektif’. Dalam hal ini, Soerjono Soekanto menganggap efektivitas hukum merupakan salah satu konsekuensi hukum yang dapat dipertentangkan dengan konsekuensi hukum lain, yaitu kegagalan hukum. Namun, keadaan tidak selalu dapat digolongkan kepada salah satu diantara keduanya. Adakalanya hukum dipatuhi, tetapi tujuannya tidak sepenuhnya tercapai. Hal itu disebabkan kadang-kadang tidak sama antara semangat kaidah hukum dengan tulisan kaidah hukum itu sendiri.

Dalam perspektif yang hampir sama, Hans Kelsen menyatakan bahwa suatu hukum ‘efektif’ jika keadaan orang berbuat sesuai dengan norma hukum yang mengharuskan mereka berbuat atau tidak berbuat, dengan kata lain, norma-norma itu benar-benar diterapkan dan dipatuhi sesuai dengan perintah norma hukum. Dalam kasus ini, Antonny Allot berpendapat bahwa suatu norma akan efektif jika terdapat kriteria:
• Jika tujuannya preventif ukuran keberhasilan ditentukan oleh eksistensi dan penerapan yang dapat mencegah sifat yang tidak disetujuinya; dan
• Jika tujuannya kuratif, yaitu untuk memperbaiki suatu kekurangan atau kerusakan, maka keberhasilannya diukur dari sejauh mana kekurangan atau kerusakan dapat dihilangkan.

Di dalam praktik, agar tujuan tersebut dapat tercapai, maka diperlukan penegakan hukum. Menurut Hart, dimaksudkan sebagai penegakan hukum adalah upaya untuk menerapkan hukum terhadap peristiwa-peristiwa hukum atau penyimpangan dan pelanggaran terhadap hukum yang berlaku dalam masyarakat. Penegakan hukum harus mewujudkan jaminan kepastian hukum dan keadilan bagi para pihak yang berkonflik. Bagir Manan mengingatkan bahwa salah satu aspek yang perlu diperhatikan sehubungan dengan penegakan hukum adalah keadaan hukum yang ditegakkan. Keadaan hukum tidak dimaksudkan sebagai penjelasan mengenai kaidah-kaidah hukum positif yang berlaku yang biasanya dikaitkan dengan hukum-hukum peninggalan kolonial atau hukum lain yang telah mati tertinggal oleh zaman. Keadaan hukum yang dimaksudkan adalah berkenaan dengan proses pembentukan hukum dalam kaitan dengan susunan kekuasaan yang berlaku.

Menurut Paimin Napitupulu , agar penegakan hukum itu dapat berjalan dengan efektif diperlukan prasyarat-prasyarat sebagai berikut:
1. Penetapan suatu aturan hukum seharusnya diselaraskan dengan kebutuhan di bidang lain sehingga tidak mengorbankan kepentingan lain;
2. Penetapan suatu aturan hukum seharusnya mempertimbangkan aspek biaya, misalnya mengeluarkan biaya besar demi suatu aturan yang tidak ada gunanya dalam masyarakat; dan
3. Penetapan aturan hukum juga harus mempertimbangkan persoalan waktu (the matter of timing) sehingga pelaksanaannya dapat berjalan secara efektif.

MELAKSANAKAN DISKRESI ADMINISTRASI YANG ADIL

Pertumbuhan dan perkembangan peran pemerintah di atas harus berhadapan dengan kenyataan bahwa karena sedemikian luas aspek kehidupan sosial dan kesejahteraan masyarakat yang digeluti itu, maka sudah barang tentu tidak setiap permasalahan yang dihadapi dan tindakan yang akan diambil oleh birokrasi telah tersedia aturannya. Dalam keadaan seperti ini membawa birokrasi kepada suatu konsekuensi khusus yaitu memerlukan kemerdekaan bertindak atas inisiatif dan kebijaksanaannya sendiri, terutama dalam penyelesaian soal-soal genting yang timbul mendadak dan peraturan penyelesaiannya belum ada. Kemerdekaan bertindak atas inisiatif dan kebijaksanaan sendiri ini dalam hukum administrasi negara disebut sebagai freies Ermessen.

Istilah freies Ermessen berasal dari bahasa Jerman. Kata freies diturunkan dari kata frei dan freise yang artinya bebas, merdeka, tidak terikat, lepas, dan orang bebas. Kata Ermessen mengandung arti mempertimbangkan, menilai, menduga, penilaian, pertimbangan, dan keputusan. Jadi, secara etimologis, freies Ermessen dapat diartikan sebagai “orang yang bebas mempertimbangkan, bebas menilai, bebas menduga, dan bebas mengambil keputusan.”

Selain itu, freis Ermessen ini sepadan dengan kata discretionair, yang artinya menurut kebijaksanaan, dan sebagai kata sifat, berarti menurut wewenang atau kekuasaan yang tidak atau tidak seharusnya terikat pada undang-undang. Menurut Prajudi Atmosudirjo , asas diskresi (discretie; freis Ermessen) artinya, pejabat penguasa tidak boleh menolak mengambil keputusan dengan alasan ‘tidak ada peraturannya’ dan oleh karena itu diberi kebebasan untuk mengambil keputusan menurut pendapat sendiri asalkan tidak melanggar asas yurisdiktas dan asas legalitas . Senada dengan pendapat itu, Sjacran Basah, mengatakan bahwa diperlukannya freies Ermessen oleh birokrasi itu dimungkinkan oleh hukum agar dapat bertindak atas inisiatif sendiri, terutama dalam penyelesaian persoalan-persoalan yang penting yang timbul secara tiba-tiba. Dengan demikian, pemerintah terpaksa bertindak cepat membuat penyelesaian. Namun, keputusan-keputusan yang diambil untuk menyelesaiakan masalah itu harus dapat dipertanggungjawabkan.

Donald Warwick, sebagaimana dikutip oleh Paimin Napitupulu , mengajukan prinsip-prinsip etika yang dapat memberikan arahan dalam pelaksanaan diskresi oleh birokrasi, yaitu:

1. Diskresi seharusnya dilaksanakan dalam koridor kepentingan masyarakat, lepas dari kepentingan pribadi atau kelompok tertentu;
2. Proses pelaksanaan diskresi seharusnya mencakup pilihan reflektif;
3. Pelaksanaan diskresi harus didasarkan kepada kejujuran;
4. Pelaksanaan diskresi seharusnya memasukkan penghargaan yang mendasar kepada prosedur mapan karena mungkin mereka satu-satunya faktor terpenting (the single most important factor) dalam meningkatkan keadilan dan akuntabilitas; dan
5. Pelaksanaan diskresi seharusnya memasukkan penetapan batasan-batasan pada alat-alat yang dipilih untuk mencapai tujuan organisasi.

Dari uraian tersebut, terlihat bahwa persoalan utama dalam diskresi pemerintahan yang etis adalah tanggung jawab terhadap generasi dan penggunaan kekuasaan. Kekuasaan tidak harus korup dan mengganggu kepentingan publik. Untuk maksud ini, maka Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara memunculkan 17 belas pasang nilai-nilai dasar budaya kerja atau mengandung 34 unsur nilai yang perlu dikembangkan, yaitu:

1. Komitmen dan konsisten terhadap visi dan misi guna tercapainya tujuan organisasi dalam pelaksanaan kebijakan negara serta peraturan perundang-undangan yang berlaku;
2. Wewenang dan tanggung jawab;
3. Keikhlasan dan kejujuran;
4. Integritas dan Profesionalisme;
5. Kreativitas dan kepekaan;
6. Kepemimpinan dan keteladanan;
7. Kebersamaan dan dinamika kelompok kerja;
8. Ketepatan/keakurasian dan kecepatan;
9. Rasionalitas dan kecerdasan emosi;
10. Keteguhan dan ketegasan;
11. Disiplin dan keteraturan kerja;
12. Keberanian dan kearifan;
13. Dedikasi dan loyalitas;
14. Semangat dan motivasi;
15. Ketekunan dan kesabaran;
16. Keadilan dan keterbukaan; dan
17. Penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (yang diperlukan untuk pelaksanaan tugas pekerjaan, terutama metode analisa dan pengambilan keputusan).


MELAKUKAN PERUBAHAN DALAM PERUBAHAN DALAM KEBIJAKAN DAN PROGRAM

Paling tidak sejak awal 1980-an, di kalangan pelajar dan ilmuwan politik berkembang 2 (dua) asumsi. Pertama, bahwa kebijakan berperan penting. Artinya, pilihan kebijakan yang diambil oleh pemerintah menentukan keberhasilan atau kegagalan pembangunan. Kedua, keberhasilan atau kegagalan pembangunan disebabkan oleh kegagalan pemerintah (atau lembaga non-pasar) untuk menyesuaian mekanisme kerjanya terhadap dinamika pasar. Argumen terakhir inilah yang kemudian mendorong terjadinya reformasi birokrasi.

Dalam hal ini, kebijakan yang dimaksud adalah kebijakan publik, yaitu pilihan yang dilakukan oleh pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan. Dye menyebutkan bahwa hal-hal yang ditetapkan untuk tidak dilakukan oleh pemerintah adalah termasuk juga kebijakan publik karena sesuatu yang tidak dilaksanakan oleh pemerintah itu akan mempunyai pengaruh (dampak) yang sama besarnya dengan sesuatu yang dilakukannya.

Menurut Mifthah Thoha , kebijakan pemerintah merupakan alokasi otoritatif bagi seluruh masyarakat sehingga semua yang dipilih pemerintah untuk dikerjakan atau tidak dikerjakan adalah hasil alokasi nilai-nilai. Jika diuraiakan secara rinci, kebijakan itu meliputi :
• Rancangan tujuan dan dasar-dasar pertimbangan program pemerintah yang berhubungan dengan masalah-masalah tertentu yang dihadapi oleh masyarakat;
• Apapun yang dipilih pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan; dan
• Masalah-masalah kompleks yang dinyatakan dan dilaksanakan oleh pemerintah.

Berdasarkan berbagai pengertian tersebut, kebijakan publik mempunyai implikasi sebagai berikut:
• Kebijakan publik itu dalam bentuk perdananya merupakan penetapan tindakan-tindakan pemerintah;
• Kebijakan publik itu tidak cukup hanya dinyatakan tetapi dilaksanakan dalam bentuk yang nyata;
• Kebijakan publik itu baik yang untuk melakukan sesuatu maupun untuk tidak melakukan sesuatu dilandasi dengan maksud dan tujuan tertentu; dan
• Kebijakan publik itu harus senantiasa ditujukan bagi kepentingan seluruh anggota masyarakat.

Menurut Shafritz dan Hyde kewenangan dalam pengambilan suatu kebijakan terkait dengan peran pemerintah sebagai agen pembuat peraturan publik dan sekaligus sebagai agen pendorong hubungan sosial. Pemerintah sebagai agen pembuat peraturan publik mempunyai kewenangan untuk membuat suatu kebijakan yang dituangkan dalam perangkat peraturan hukum. Peran pemerintah sebagai agen pendorong hubungan sosial adalah menyerap dinamika sosial dalam masyarakat yang akan dijadikan acuan pengambilan suatu kebijakan agar terdapat tata hubungan sosial yang harmonis. Menurut Bambang Sunggono , terdapat 10 (sepuluh) pengertian kebijakan publik, yaitu:
1. Kebijakan sebagai merek suatu bidang kegiatan tertentu;
2. Kebijakan sebagai pernyataan mengenai tujuan umum atau keadaan tertentu yang dikehendaki;
3. Kebijakan sebagai suatu usulan-usulan khusus;
4. Kebijakan sebagai keputusan pemerintah;
5. Kebijakan sebagai bentuk pengesahan formal;
6. Kebijakan sebagai program;
7. Kebijakan sebagai keluaran;
8. Kebijakan sebagai hasil akhir;
9. Kebijakan sebagai teori atau model; dan
10. Kebijakan sebagai proses.

Dari sepuluh pengertian tersebut, maka kebijakan publik lebih mengacu kepada pengertian keempat dan keenam, yaitu bahwa kebijakan publik merupakan keputusan pemerintah dan juga sebagai sebuah program. Dengan demikian, kebijakan publik merupakan keputusan (formal) pemerintah yang berisi program-program pembangunan sebagai realisasi dari fungsi atau tugas negara serta dalam rangka mencapai tujuan pembangunan nasional.

Menurut Mackenzie kebijakan publik tidak selalu identik dengan hukum. Hukum merupakan petunjuk bagi kebijakan publik atau suatu pernyataan yang diharapkan oleh pembentuk hukum menjadi kebijakan. Di samping itu, peranan pelaksana dalam perumusan hukum tidak sebesar peranan pelaksana dalam perumusan kebijakan publik. Hal ini dimungkinkan karena perbedaan filosofi dalam penyusunan aturan hukum dan kebijakan publik. Aturan hukum lebih banyak didasarkan kepada nilai-nilai normatif yang relatif universal, seperti baik-buruk, benar-salah, boleh-tidak boleh, dan sebagainya, sementara kebijakan publik lebih bersifat politik, di mana terlibat berbagai kelompok kepentingan yang berbeda-beda, bahkan ada yang saling bertentangan.

Salah satu persoalan yang dihadapi oleh birokrasi sekarang ini adalah bahwa birokrasi pemerintahan tidak berprakarsa dan tidak inovatif dan terlalu sering menggunakan kemampuan mereka untuk menghancurkan gagasan-gagasan baru, termasuk perubahan. Kesulitan utama dalam membuat perubahan karena ada gap yang besar diantara harapan warganegara, persepsi, dan realitas. Dalam konteks ini, kebijakan baru dan perubahan organisasi perlu untuk membangun akuntabilitas yang lebih jelas, memberikan visibilitas terhadap suatu program baru, mengurangi duplikasi, atau mengkonsolidasikan semuanya untuk memperbaiki pelaksanaan pemerintahan. Untuk menilai sejauh mana daya tanggap birokrasi terhadap perubahan dan kebutuhan, maka dewasa ini diperkenalkan konsep “kinerja sektor publik.”

Menurut Rue dan Byars, sebagaimana dikutip oleh Chaizi Nasucha menyatakan bahwa kinerja merupakan tingkat pencapaian tujuan organisasi. Diuraiakan lebih lanjut, bahwa kinerja bagi setiap organisasi merupakan kegiatan yang sangat penting terutama penilaian ukuran keberhasilan suatu organisasi dalam batas waktu tertentu. Singkatnya, kinerja berhubungan dengan prestasi kerja. Sementara itu, konsep produktivitas sektor publik didasarkan kepada asumsi-asumsi normatif yang menyatakanbahwa organisasi publik tidak sepenuhnya otonom, akan tetapi dikuasai oleh faktor-faktor eksternal. Organisasi publik secara hukum diadakan untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat dan tidak dimaksudkan untuk bersaing dengan organisasi publik lainnya. Kesehatan suatu organisasi publik diukur berdasarkan konstribusinya terhadap tujuan politik dan kemampuannya mencapai hasil yang maksimal dengan sumber daya yang tersedia. Produktivitas organisasi dalam sektor publik diukur dari segi kualitas pelayanan yang diberikan kepada masyarakat, terutama sejauh mana hasil tersebut dapat dicapai dengan standar yang diinginkan. Berkaitan dengan hal ini, kinerja sektor publik memerlukan pengukuran, bertujuan untuk membantu manajer publik dalam menilai suatu pencapaian strategi melalui instrumen finansial dan nonfinansial. Menurut Mardiasmo , pengukuran kinerja sektor publik mempunyai tujuan sebagai berikut:

1. Membantu memperbaiki kinerja pemerintahan agar kegiatan pemerintah terfokus kepada tujuan dan sasaran program unit kerja;
2. Pengalokasian sumber daya dan pembuatan keputusan; dan
3. Mewujudkan pertanggungjawaban publik dan memperbaiki komunikasi kelembagaan.

Berkaitan dengan kinerja birokrasi, di Indonesia ternyata kualitasnya masih buruk. Dengan mengambil fokus kepada birokrasi investasi, survei The Political and Economic Risk Consultancy Ltd yang mengambil 1.000 responden ekspatriat di Asia, Indonesia menduduki peringkat kedua terburuk. Dalam survei tersebut, digunakan skala penilaian 0 sampai dengan 10. Semakin mendekati angka 10, maka sistem birokrasi negara tersebut semakin buruk. Dalam laporan itu, antara lain dikatakan bahwa birokrasi “hidup” sangat baik di Asia, tidak peduli dengan apa pun bentuk sistem politik di negara tersebut. Pemerintah yang seharusnya memberikan pelayanan publik sepertinya lebih bertindak sebagai penguasa dan bukan pelayan. Kebijakan yang dikeluarkan sepertinya bukan mempermudah, melainkan mempersulit investor. Dengan tingginya biaya formal yang harus dikeluarkan, para pengusaha akhirnya lebih memilih jalur formal. Tidak heran, jika negara yang buruk birokrasinya memiliki korelasi yang besar dalam hal tingkat korupsi tinggi.

MENINGKATKAN KEPERCAYAAN MASYARAKAT KEPADA PEMERINTAH

Kepercayaan merupakan kekuatan paling dahsyat di muka bumi. Menurut Moh. Mahfud M.D., kepercayaan masyarakat kepada pemerintah diwujudkan antara lain dalam bentuk respon masyarakat terhadap kebijakan publik. Dalam hal ini perlu dipahami bahwa operasionalisasi kewenangan birokrasi selalu berbentuk tindakan hukum berupa kebijakan publik. Dalam hal ini, kebijakan publik merupakan isi atau materi dsari keputusan-keputusan publik yang dibuat dan diimplementasikan oleh pemerintah, baik untuk berbuat sesuatu maupun untuk tidak berbuat sesuatu. Berbicara tentang respons masyarakat terhadap kebijakan publik berarti berbicara partisipasi masyarakat dalam proses politik karena respon merupakan wujud dari bentuk partisipasi politik di dalam kehidupan bernegara. Partisipasi politik mempunyai arti sangat penting di negara-negara demokrasi, karena tingkat partisipasi politik masyarakat dapat menunjukkan tingkat dukungan masyarakat terhadap kebijaksanaan pemerintah.

Bahkan dapat dikatakan bahwa tingkat partisipasi politik akan menentukan apakah suatu pemerintah legitimated atau tidak. Besarnya partisipasi masyarakat ini akan sangat dipengaruhi oleh tingkat kesadaran hukum dan kesadaran politik masyarakat dalam suatu negara.

Menurut Graham K.A. dan S.D. Philips, sebagaimana dikutip oleh Leo Sutanto partisipasi masyarakat dapat dikatakan sebagai the continued active involvement if citizens in making the policies which effect them. Pada dasarnya tujuan partisipasi masyarakat sangatlah beragam, meliputi berbagi informasi, akuntabilitas, legitimasi, pendidikan, pemberdayaan masyarakat, hingga berbagi kekuasaan secara nyata. Partisipasi ini dapat berlangsung di beberapa arena, yaitu pertama, praktik operasional yang menyangkut perilaku dan kinerja pegawai dalam institusi publik, keterandalan dan keteraturan pelayanan, fasilitas bagi pengguna jasa dengan kebutuhan tertentu, dan lain sebagainya. Kedua, keputusan pembelanjaan yang berkaitan dengan anggaran yang didelegasikan. Ketiga, pembuatan kebijaksanaan yang menyangkut tujuan-tujuan strategis bagi pembangunan kawasan dan fasilitas tertentu serta prioritas pembelanjaan dan keputusan alokasi sumber daya lainnya.

Dalam proses ini terlibat berbagai macam policy stakeholders yaitu mereka-mereka yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh suatu kebijakan. Policy stakeholders bisa pejabat pemerintah, pejabat negara, lembaga pemerintah, maupun dari lingkungan publik (bukan pemerintah) seperti partai politik, kelompok kepentingan, pengusaha, dan sebagainya. Proses untuk mempengaruhi kebijakan publik inilah yang pada hakikatnya merupakan proses politik.
Menurut James E. Anderson menyebut adanya 6 (enam) faktor yang mendorong kepatuhan masyarakat terhadap kebijakan negara, yaitu:

1. Adanya respek terhadap otoritas dan keputusan badan pemerintah. Jika pemerintah telah terdidik untuk mengakui otoritas tersebut, mereka akan malu untuk melakukan kesalahan atau pelanggaran terhadap keputusan-keputusan pemerintah;
2. Adanya kesadaran untuk menerima kebijaksanaan yaitu penerimaan secara logis bahwa kebijaksanaan tersebut memang diperlukan oleh pemerintah untuk kepentingan warganya;
3. Adanya keyakinan bahwa kebijaksanaan itu dibuat secara sah dan konstitusional oleh organ yang berwenang sehingga masyarakat bersedia untuk mematuhinya;
4. Adanya kepentingan pribadi yaitu kesesuaian antara kebijaksanaan publik dengan kenginan pribadi-pribadi anggota masyarakat;
5. Adanya ancaman sanksi bagi yang tidak mematuhi kebijaksanaan publik tersebut serta adanya keinginan untuk tidak dicap sebagai tukang melanggar hukum; dan
6. Karena lampaunya waktu sehingga masalah yang dulu ditolak atau kontroversial pada saatnya, setelah lampau waktu tertentu, dapat diterima secara wajar dan ditaati.

Sementara itu, Anderson juga mencatat adanya 5 (lima) faktor yang menyebabkan masyarakat tidak mentaati suatu kebijaksanaan negara, yaitu:

1. Karena bertentangan dengan sistem nilai masyarakat seperti bertentangan dengan ajaran agama yang diakui oleh masyarakat yang bersangkutan ;
2. Karena ketidakpatuhan selektif terhadap hukum, yaitu patuh secara ketat terhadap bidang hukum tertentu, tetapi tidak patuh terhadap bidang hukum yang lain. Misalnya, kepatuhan terhadap hukum pidana lebih ketat dibandingkan kepatuhan terhadap hukum agama;
3. Karena keanggotaan seseorang dalam suatu kelompok yang ide-idenya kadang-kadang tidak sesuai atau bertentangan dengan hukum atau keinginan pemerintah ;
4. Karena ada kecenderungan untuk mencari untung dengan cepat sehingga menimbulkan tingkah laku suka menerobos atau melanggar hukum dan ketentuan-ketentuan yang dilakukan oleh pemerintah ; dan
5. Karena adanya ketidakpastian hukum atau ketidakjelasan ukuran kebijaksanaan yang satu dan lainnya saling bertentangan. Di samping itu, ada perbedaan pandangan dan kepentingan sering pula menjadi faktor penyebab tidak ditaatinya suatu kebijaksanaan publik karena timbulnya penafsiran yang berbeda-beda.

Partisipasi masyarakat, yang dalam aspek yang lain adalah pemberian kesempatan kepada rakyat untuk mempengaruhi proses pembuatan keputusan pemerintah, merupakan salah satu faktor struktural yang bersifat pelembagaan politik agar birokrasi tidak berlaku korup. Di sebagian besar negara, birokrasi cenderung lebih kuat dibandingkan lembaga-lembaga yang lain sehingga seringkali ia lepas dari kontrol masyarakat. Lebih dari itu, terutama di negara yang sedang membangun, birokrasi berposisi sangat sentral karena dalam proses itu ia bukan bertanggung jawab merencanakan pembangunan saja, tetapi juga dalam mencari dana invetsasi, menetapkan arah investasi, bahkan ia sendiri menjadi investor atau entrpreneru dengan mendirikan perusahaan negara. Dalam kaitan ini, pemerintah juga merupakan sumber pekerjaan bagi banyak perusahaan yang menggantungkan kepada kontrak pemerintah, selain juga memberi lapangan kerja bagi mereka yang ingin menjadi pegawai negeri.
Untuk membuka partisipasi masyarakat tersebut, maka diperlukan prasyarat yang terbuka, antara lain lewat proteksi hukum terhadap hak masyarakat untuk aktif dalam berekspresi, mengakses informasi, dan mendistribusikannya. Kebebasan mengakses informasi merupakan modal sosial untuk mewujudkan transparansi kebijakan, akuntabilitas pemerintahan, peraturan hukum yang kuat, suara rakyat, dan kesampatan yang setara untuk beraktualisasi.

Di Indonesia, hak masyarakat atas informasi telah mendapatkan pengakuan di dalam Pasal 28F UUD 1945. Beberapa undang-undang sektoral juga mengakui hak publik atas informasi. Misalnya, UU No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dan UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih KKN. Ada sekitar 17 undang-undang sektoral yang telah menegaskan hak masyarakat atas informasi. Meski demikian, berbagai peraturan perundang-undangan tersebut tak cukup kuat sebagai landasan hukum bagi masyarakat untuk mendapatkan informasi yang dikelola lembaga publik. Klausul tentang kebebasan informasi dalam peraturan perundang-undangan sektoral tersebut bersifat umum dan sebatas mengakui hak masyarakat. Peraturan perundang-undangan itu tidak berbicara tentang mekanisme yang baku dan jelas tentang informasi yang dapat diperoleh oleh masyarakat, bagaimana prosedur untuk memperolehnya, lembaga mana yang dapat memberi informasi, dan apakah sanksinya jika lembaga atau pejabat publik tidak melayani permintaan informasi dari masyarakat. Bagaimana mekanisme hukum dari masyarakat yang tidak mendapatkan informasi secara baik.

Senin, 16 November 2009

SISTEM HUKUM ADMINISTRASI NEGARA DALAM KONSEP WELFARE STATE

I. LATAR BELAKANG

Perkembangan tipe negara hukum membawa konsekuensi terhadap peran Hukum Administrasi Negara (HAN), karena semakin sedikit campur tangan negara dalam kehidupan masyarakat akan semakin kecil pula peran HAN didalamnya, sebaliknya dengan semakin intensifnya campur tangan tadi akan semakin besar pula peran HAN.

Hal ini sejalan dengan konsep negara welfare state, administrasi negara diwajibkan untuk berperan secara aktif diseluruh segi kehidupan masyarakatnya, maka ini malah merupakan salah satu sipat khas pemerintahan moderen (negara hukum moderen). Maka penulis mencoba ingin membedah bagaimana substansi peran Hukum Administrasi Negara seperti pendapat Wade and Phillips yang memberikan batasan-batasan sebagai berikut :

1. Kaidah hukum yang mengatur bagaimana organ-organ kekuasaan negara menjalankan kekuasaannya.

2. Kaidah hukum yang mengatur hubungan kekuasaan antara lembaga negara (administrasi negara) yang ada, dan antara lembaga negara (administrasi negara) dengan masyarakat (warga negara)

3. Kaidah hukum yang sekaligus memberikan jaminan dan perlindungan baik bagi masyarakat maupun administrasi negara itu sendiri.

Selanjutnya dalam tataran implementasi dari peran administrsi negara sebagai pembatasan kekuasaan dapat dilihat dari instrumen-instrumen HAN yang dipandang dapat menjadikan peran masing-masing seperti pemrintah sebagai pejabat administrasi negara dan masyarakat sebagai konstituen yang harus dilayani oleh pejabat atau fungsi administrasi negara ini harus berjalan dengan seimbang satu sama lain.

Apabila ada gesekan yang berhubungan dengan peran dan pungsi administrasi negara dengan masyarakat maka hukum administrasi negara ini menjadi regulasi yang dapat menyjadi pemecahan masalah agar tidak merugikan salah satu pihak. Agar dapat mempermudah studi kepustakaan ini maka kiranya diperlukan identifikasi masalah untuk memudahkan dalam pembahasannya selanjutnya sebagai berikut: Pertama, Apa yang dimaksud Hukum Administrasi Negara ? Kedua, Bagaimana Peran Sebagai Substansi Hukum Administrasi Negara ?

Untuk hal tersebut maka penulis akan berupaya mengelaborasi materi tersebut dengan tulisan yang berjudul “SISTEM HUKUM ADMINISTRASI NEGARA DALAM KONSEP WELFARE STATE”

II. PEMBAHASAN

A. Pengertian Kekuasaan

Dari sudut etimologi, kekuasaan secara sederhana dan umum diartikan sebagain “kemampuan berbuat dan bertindak” (power is an abnility to do or act). Sedangakan didalam kamus hukum, kekuasaan diberi pengertian sebagai :
“…, is ability on the part of a person to produce a change in a given legal relation by doing a given act,” atau pun juga; “…, is aliberty authority reserved by, or limited to, a person to dispose of real or personal property, for his own benefit, or benefit of others, or enabling one person to dispose of interest which is vested in another,”

Pengertian menurut kamus bahasa dan kamus hukum tersebut memperlihatkan bahwa kekuasaan adalah suatu kemampuan yang terdapat didalam hubungan antar manusiaa (sosial) sebagai wadah penerapan kekuasaan, dapat juga dipahami dan definisi yang dikemukakan oleh Miriam Budiardjo, yaitu : “ …,kemampuan seseorang atau sekelompok manusia untuk mempengaruhi tingkah laku seseorang atau kelompok lain sedemikian rupa hingga tingkah laku itu sesuai dengan keinginan dan tujuan dari orang yang mempuanyai kekuasaan itu”.

Setiap individu mempunyai beraneka ragam meksud dan tujuan yang hendak diperolehnya dan pelksanaan interaksi sosial. Oleh sebab itu upaya-upaya “mempengaruhi pihak lain” menjadi sentral dari tiap-tiap penyelenggaraan kekuasaan. Bahkan mendasar dari hal itu, kekuasaan sering diasumsikan sebagai nilai yang seolah-olah wajib untuk dipunyai. Dengan demikian pengendalian pihak-pihak lain dari syarat mutlak, yakni terutama dalam rangaka memelihara keselamatan diri maupun harta benda sendiri. Keadaan serupa tercermin pada definisi kekuasaan yang dikemukakan oleh Ossip K. Flechtheim, yakni :
“…,merupakan keseluruhan dari kemampuan, hubungan-hubungan dan proses-proses yang menghasilkan ketaatan dari pihak lain…,untuk tujuan-tujuan yang ditetapkan oleh pemegang kekuasaan”.

Dari beberapa pengertian yang telah dipaparkan, kiranya dapat diketahui beberapa hal esensial tentang kekuasaan, yaitu sebagai berikut :

1. Merupakan kemampuan untuk mempengaruhi atau pengendalikan pihak lain;
2. Terdapat di dalam suatu interaksi sosial;
3. Mencakup seluruh hubungan dan proses yang terdapat pada interaksi sosial;
4. Mengandung aspek paksaan (memaksa); serta
5. Mempunyai maksud dan tujuan penyelenggaraan.

Selanjutnya, apakah yang dimaksus dengan kekuasaan negara ? negara sering dipandang sebagai interaksi kekuasaan. Disamping pandangan tersebut masih terdapat pengertian-pengertian lain tentang negara. Dari sekian banyak pengertian dapat disebutkan setidaknya tiga pengertian negara, yaitu :

1. the organization of sosial life which exersice sovereign power in behalf of the people;

2. A body of people accupying a definite territory and politically organized under one government; atau juga

3. A territorial unit with a distinc general body of law.

Bedasarkan pengertian diatas, secara etimologi, kekuasaan negara dapat kiranya diartikan sebagai “kemampuan organisasi kehidupan sosial dalam suatu wilayah untuk memaksa seluruh golongan dan kelompok sosial dalam suatu wilayah untuk memaksa seluruh golongan dan kelompok sosial yang ada, secara sah berdasarkan ketentuan-ketentuan hukum untuk mecapai tujuan kehidupan bersama yang ditetapkan sebelumnya”. Pihak atau organ yang menyelenggarakan kekuasaan negara adalah pemerintah, baik dalam arti sempit – terbatas hanya adminstrasi negara (lembaga eksekutif) – maupun dalam arti luas – meliputi seluruh badan kenegaraan yang terdapat di dalam negara.

Kekuasaan, menurut pakar sosiologi – politik, berasal dari lima sumber, yaitu :

1. Kekuatan (kekerasan) fisik;
2. Kedudukan atau jabatan;
3. Kekayaan;
4. Kepercayaan atau keyakinan;
5. Ketrampilan dan keahlian.

B. Sumber Kekuasaan Administrasi Negaera

Pembahasan sumber kekuasaan negara ini akan sangat menarik apabila kita coba telusuri dari paham-paham yang pernah ada, sumber kekuasaan negara ataupun kekuasaan yang dimiliki penguasa (penyelenggara) negara, dapat dipahami melalui lima teori (paham) kedaulatan. Kelima paham diatas, sumber kekuasaan negara taupun kekuasaan yang dimiliki penguasa (penyelenggara) negara, dapat dipahami melalui lima teori (paham) kedaulatan. Kelima paham kedaulatan tersebut adalah :

1 Paham Kedaulatan Tuhan

Terdapat daua klasifikaasi paham kedaulatan Tuhan, yang masing-masingnya diwakili oleh pandangan Augustinus (klasik) serta Thomas Aquinas (hukum moderat; modern). Meski menyiratkan perbedaan tertentu, namun kedua mengasumsikan bahwa kekuasaan negara adalah berasal dari Sang Pencipta (Tuhan). Sebagai konsekuensi logisnya, masyarakat berhak menolak (tidak mentaati) berbagai perintah dari penguasa yang melanggar ketentuan atau norma moral dan keadilan yang dikehendaki oleh Tuhan Allah;

2 Paham Kedaulatan Raja

Kekuasaan dimiliki oleh penguasa negara (raja) karena keabsolutan negara, yang digambarkan Thomas Hobbes sebagai “leviathan” – makhluk yang kaut tanpa tandingan. Oleh sebab itu negara dapat memastikan dan memaksakan ketaatan masyarakat terhadap berbagai peraturan yang ditetapkannya. Keabsolutan sifat dari negara mengakibatkan warga masyarakat sama sekali tidak memiliki hak apapun terhadap negara;

3 Paham Kedaulatan Negara

Menurut paham kedaulatan negara, bahwa kekuasaan yang terdapat di dalam negara merupakan resultan dari kodrat alam. Oleh inspirator paham ini – antara lain, George Jellineck dan Paul Laband – dikemukakan bahwa kekuasaan penguasa adalah yang tertinggi. Setiap perintah dari penguasa negara yang dimanisfestasikan dalam hukum haruslah ditaati oleh masyarakat;

4 Paham Kedaulatan Rakyat

Paham ini dipelopori oleh Jean Jacques Rousseau, John Locke dan Montesquieu. Secara garis besarnya, menurut mereka, kekuasaan negara yang diselenggarakan oleh para penguasa adalah berasal dari rakyat. Hal tersebut dimungkinkan karena negara pada hakekatnya adalah produk dari perjanjian di antara masyarakat. Sebagai konsekuensinya, bahwa setiap hukum akan mengikat sepanjang itu disetujui oleh rakyat;

5 Paham Kedaulatan Hukum

Kekuasaan tertinggi di dalam negara, menurut paham yang dipelopori oleh Immanuel Kant serta Leon Duguit, bukan bersumber dari Allah, Raja, Negara ataupun Rakyat. Segala kekuasaan negara yang diselenggarakan penguasa maupun oleh rakyat, pada dasarnya berasal dari hukum. Konsokuensinya, bahwa kekuasaan yang diperoleh tidakberdasarkan hukum dipandang tidak sah dan tidak perlu ditaati.

III. HUKUM ADMINISTRASI DAN NEGARA WELFARE STATE

A. Pengertian Hukum Administrasi Negara

Sebagai bagian dari ilmu hukum, baik substansi maupun pengertian hukum administrasi negara terus berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat. Di abad pertengahan, misalnya, hukum administrasi negara banyak diberi pengertian sebagai aturan-aturan hukum yang harus diperhatikan oleh perlengkapan negara didalam menjalankan pekerjaan tugasnya. Pengertian tersebut kemudian berkembang menjadi serangkaian aturan hukum yang mengatur cara bagaimana administrasi negara menjalankan fungsinya, yakni pada awal abad 20. Perkembangan pengertian itu terjadi disebabkan semakin kompleksnya fungsi-fungsi pemerintah yang diselenggarakan oleh administrasi negara.

Berbagai perkembangan dalam kehidupan masyarakat yang mempengaruhi fungsi-fungsi adminstrasi negara cukup berpengaruh pada batasan pengertian yang dikemukakan kalangan ilmuwan hukum. Berikut ini akan dikemukakan definisi hukum administrasi negara dari beberapa sarjana hukum.

Menurut de La Bassecour Caan, bahwa yang dimaksud dengan hukum administrasi negara adalah :
“himpunan peraturan-peraturan tertentu yang menjadi sebab maka negara berfungsi (beraksi). Maka peraturan-peraturan itu mengatur hubungan-hubungan antar tiap-tiap warga (negara) dengan pemerintahnya”.

Kemudian oleh Van Vollenhoven disebutkan bahwa, “Hukum adminstrasi negara adalah suatau gabungan ketentuan-ketentuan yang mengikat badan-badan yang tinggi maupun yang rendah apabila badan-badan itu menggunakan wewenangnya yang diberikan kepadanya oleh hukum tata negara”.

Melalui batasan pengertian yang dikemukakannya, Van Vollenhoven hendak memaparkan bahwa HAN merupakan kelanjutan dari HTN. Hukum Administrasi Negara menggambarkan pada kita tentang negara dalam keadaaan bergerak (staats in berweging).

Sedangkan menurut J.H.A. Logemann, hukum administrasi negara adalah :
“ hukum mengenai hubungan-hubungan antara jabatan-jabatan satu dengan yang lainnya, serta hukum antara jabatan-jabatan negara itu dengan para warga masyarakat.”

Meskipun didefinisikan secara beraneka ragam, tetapi dari pendapat ketiga sarjana tersebut dapat dipahami setidaknya dua hal essensial tentang hukum administrasi negara, yaitu :

1 Merupakan aturan hukum yang mengatur dan menyebabkan negara berfungsi;
2 Merupakan aturan hukum yang mengatur hubungan antara administrasi negara dengan masyarakat.

Keanekaragaman pengertian yang diberikan terhadap hukum adminstrasi negara juga ditemikan di antar pakar hukum di Indonesia. Hal ini dapat dilihat pada beberapa pengertian berikut ini.

Hukum administrasi negara, atau yang disebut sebagai hukum pemerintahan, menurut E. Utrecht adalah :
“menguji hubungan hukum istimewa yang diadakan akan memungkinkan para pejabat (ambtsdragers) administrasi negar melakukan tugas mereka yang khusus”.

Selanjutnya oleh Muchsan, hukum adminstrasi negara dirumuskan sebagai “hukum mengenai struktur dan kefungsian administrasi negara”. Dengan demikian, hematnya, hukum adminstrasi negara dapat dibedakan dalam dua jenis, yaitu :

1. Sebagai HAN, hukum mengenai operasi dan pengendalian kekuasaan adminstrasi, ataupun pengawasan terhadap penguasa-penguasa administrasi;

2. Sebagai hukum buatan administrasi, maka HAN merupakan hukum yang menjadi pedoman dalam penyelenggaraan UU.

Di satu bagian lain, Prajudi Atmosudirdjo berpendapat bahwa hukum administrasi negara adalah : “hukum yang mengenai pemerintah beserta aparatnya yang terpenting yakni administrasi negara”, atau merupakan : “hukum yang mengatur wewenang, tugas, fungsi dan tingkah laku para Pejabat Administrasi Negara yang bonafide, artinya : yang tertib, sopan, berlaku adil dan objektif, jujur, efisien dan fair (sportif)”.

Pada bagian lain, menurutnya, bahwa hukum administrasi negara pada dasarnya dapat dibedakan dalam dua klasifikasi, yakni :

1 HAN heteronom, merupakan hukum yang mengatur seluk beluk administrasi negara, mencakup tentang :

a. Dasar-dasar prinsip-prinsip umum administrasi negara
b. Organisasi administrasi negara, termasuk juga pengertian dekonsentrasi dan desentralisasi;
c. Berbagai aktivitas dari administrasi negara;
d. Seluruh sarana administrasi negara; serta
e. Badan peradilan administrasi.

2. HAN otonom, merupakan hukum yang dibentuk oleh administrasi negara sendiri.

B. Perluasan Kekuasaan Administrasi Negara

Negara hukum modern telah terjadi suatu peluasan kekuasaan yang dimiliki administrasi negara. Perluasan tersebut tidak hanya dibidang penyelenggaraan pemerintahan saja, akan tetapi juga mencakup bidang pembuatan perundang-undangan (materiil) dan bidang peradilan (voluntaire juridictie).

Mengingat argumentasi teoritis maupun praktis yang menegaskan bahwasanya suatu kekuasaan cenderung diselewengkan, apalagi jika kekuasaan itu sedemikian luas dimiliki, maka sudah tentu dibutuhkan upaya pembatasan terhadapnya. Bagi negara kesejahteraan (welfare state), pembatasan itu akan sangat mendukung pencapaian hasil-hasil yang lebih baik dan mantap dari pelaksanaan fungsi bestuurszorg.

C. Penyelenggaraan Pemerintahan Welfare – State

Konsep welfare state atau sosial service-state, yaitu negara yang pemerintahannya bertanggung jawab penuh untuk memenuhi berbagai kebutuhan dasar sosial dan ekonomi dari setiap warga negara agar mencapai suatu standar hidup yang minimal, 21 merupakan anti-tesis dari konsep “negara penjaga malam” (nachtwakerstaat) yang tumbuh dan berkembang di abad ke 18 hingga pertengahan abad ke 19.

Didalam negara penjaga malam atau negara hukum dalam arti sempit (rechtstaat in engere zin). Pemerintah hanya pempertahankan dan melindungi ketertiban sosial serta ekonomi berlandaskan asas “laissez faire, laissez aller”. Negara dilarang keras untuk mencampuri perekonomian maupun bidang kehidupan sosial lainnya. Dengan perkataan lain, administrasi negara bertugas (berfungsi) untuk mempertahankan suatu staatsonthouding, yakni prinsip pemisahan negara dari kehidupasn sosial – ekonomi masyarakat. Dalam konsep welfare state, administrasi negara diwajibkan untuk berperan secara aktif di seluruh segi kehidupan masyarakatnya. Dengan begitu sifat khas dari suatu pemerintahan modern (negara hukum modern) adalah, terdapatnya pengakuan dan penerimaan terhadap peranan-peranan yang dilakukannya sehingga suatu kekuatan yang aktif dalam rangka membentuk (menciptakan) kondisi sosial, ekonomi dan lingkungan fungsinya.

Perkembangan masa yang berlangsung mengakibatkan perubahan secara mendasar atas peranan dan fungsi-fungsi yang diselenggarakan pemerintah. Negara selaku integritas kekuasaan massa, sudah tentu membutuhkan suatu tingkat kestabilan khusus dalam sistem sosialnya untuk tetap dapat mempertahankan keseimbangan antara peranan atau penyelenggaraan fungsi-fungsinya dengan tujuan-tujuan yang akan dicapai. Dalam upaya mencapai hal tetrsebut, tidak saja diperlukan keselarasan atas tujuan-tujuan yang dikehendaki oleh kelompok-kelompok sosial maupun kelompok–kelompok ekonomi yang terdapat pada negara, akan tetapi juga kreativitas untuk menciptakan secara terarah berbagai kondisi kesejahteraan sosial yang dikehendaki masyarakat.

Sebagai konsekuensi dari melekatnya fungsi servis publik (bestuuszorg), maka administrasi negara makin dipaksa untuk menerima tanggung jawab positif dalam hal menciptakan dan mendistribusikan tingkat pendapatan maupun kekayaan, serta menyediakan program kesejahteraan rakyat. Hal tersebut khususnya dalam bidang pendidikan, kesehatan, lapangan kerja, perlakuan hukum yang sama, jaminan sosial. Melalui upaya-upaya itu eksistensi pemerintah hampir diseluruh dunia, tumbuh menjadi suatu pemerintah yang besar dan kuat, baik itu didalam runag lingkup fungsi maupun jumlah personal yang dibutuhkannya untuk melaksanakan tanggung jawabnya.

Setidak-tidaknya ada dua masalah penting akibat terjadnya perkembangan peranan dan fungsi administrasi negara. Pertama, dengan makin pesatnya pertambahan jumlah personal penyelenggara fungsi servis publik, maka diasumsikan akan terjadi peningkatan jumlah korban sebagai akibat penekanan rejim pemerintah. Hubungan asumsi seperti itu, mungkin, cukup tercermin dari kecenderungan semakin tingginya penyelewengan – tindakan yang merugikan rakyat- dalam mencapai atau mewujudkan kesejahteraan rakyat.

Kedua, yakni masalah yang jauh lebih mengkhawatirkan, adalah kemungkinan terjadinya pemusatan kekuasaan pada administrasi negara. Kemungkinan tersebut lebih terbuka dengan diberikannya suatu “kebebasan” untuk bertindak atas inisiatif sendiri (freies ermessen; pouvoir discretionnaire) guna menyelesaikan permasalahan yang sdang dihadapi dan perlu segera diselesaikan.

IV. P E N U T U P

Dari analisis yang dilakukan terhadap masalah-masalah yang dikemukakan, dapat ditemukan beberapa kesimpulan sebagai berikut :

1. Hukum Administrasi Negara (HAN) sangat penting dan dibutuhkan dalam penyelenggaraan kekuasaan negara oleh administrasi negara. Keberadaan hukum administrasi negara tersebut adalah dalam satu visi. Di satu bagian hukum administrasi negara berperan mengatur wewenang, tugas dan fungsi administrasi negara berperan mengatur wewenang, tugas dan fungsi administrasi negara. Sedangkan pada bagian lain, hukum administrasi negara berperan membatasi kekuasaan yang diselenggarakan oleh administrasi negara;

2. Hukum administrasi negara mengakibatkan sikap tindak administrasi negara harus senantiasa rechtmatige dan wetmatige.

3. Di dalam pemerintahan welfare state, hukum administrasi negara berperan menyelaraskan seluruh sikap tindak dan penggunaan kekuasaan negara oleh administrasi negara, dengan nilai-nilai kemanusiaan dari segenap anggota masyarakat.

Kamis, 05 November 2009

Surat Kuasa Untuk Beracara Di PTUN

Surat kuasa merupakan suatu persetujuan dengan mana seseorang memberikan kuasa pada orang lain, yang menerimanya untuk atas namanya menyelenggarakan suatu urusan. Didalam surat kuasa terdapat unsur pemberian kewenangan kepada seorang atau beberapa orang, baik
sendiri-sendiri atau secara bersama-sama untuk menyelenggarakan suatu urusan pemberi kuasa. Bentuk pemberian kuasa dapat berupa pemberian kuasa secara umum ataupun secara khusus.

Perlu diketahui bahwasanya penunjukan kuasa hukum di PTUN sifatnya tidak wajib. Fungsi kuasa hukum merupakan alternatif, apakah kuasa hukum itu mendampingi dalam perkara atau mewakili dalam sengketa di Pengadilan. Pemberian kuasa hanya dapat diberikan kepada seseorang atau beberapa (atau banyak) orang yang memiliki ijin beracara di Pengadilan (dalam hal ini adalah advokat). Jaksa selaku Pengacara Negara, atau Pejabat Administarsi Negara yang dikuasakan untuk itu dapat pula berkedudukan sebagai Kuasa Hukum dari Badan/Pejabat Tata Usaha Negara yang berkedudukan sebagai tergugat.

Cara pemberian kuasa dapat dilakukan melalui surat kuasa khusus (tidak diperkenankan surat kuasa yang sifatnya umum) atau secara lisan dipersidangan. Jika surat kuasa diberikan secara tertulis, maka surat kuasa wajib dilampirkan dalam surat gugatan atau diserahkan dalam persidangan. Apabila tindakan penerima kuasa telah melampaui batas kewenangan yang
dikuasakan kepadanya, maka pemberi kuasa dapat mengajukan pembatalan kepada Hakim atas tindakan tersebut dan untuk selanjutnya tindakan kuasa hukum tersebut dicoret dari Berita Acara Persidangan.

Adapun elemen dari Surat Kuasa adalah sebagai berikut:
· Titel -> disebutkan “Surat Kuasa”, bagian tengah “khusus”.
· Identitas pemberi kuasa (nama,umur,pekerjaan, alamat)
· Identitas penerima kuasa (nama, profesi, alamat)
· Subjek tergugat & objek gugatan;
· Kompetensi relative;
· Penyebutan kewenangan penerima kuasa (khusus) secara limitatif;
· (hak upah, hak subtitusi jika di perlukan);
· Tanda tangan para pihak, tempat dan tanggal pembuatan serta ditempeli materai.

Suatu surat gugat harus memenuhi dua syarat, yaitu:
1. Syarat Formil
Gugatan harus memuat nama, kewarganegaraan, tempat tinngal, pekerjaan penggugat maupu kuasanya (termasuk melampirkan surat kuasa jika memakai kuasa) dan nama jabatan
dan tempat kedudukan tergugat.
2. Syarat Materiil
Gugatan harus memuat posita (dasar atau alasan-alasan gugatan) dan petitum (tuntutan baik tuntutan pokok maupun tambahan (ganti rugi dan/atau rehabilitasi)).

Adapun kerangka Surat Gugat sebagaimana diatur dalam Pasal 56 UU PTUN, adalah sebagai berikut:
(1) Gugatan harus memuat :
a.nama, kewarganegaraan, tempat tinggal, dan pekerjaan penggugat, atau kuasanya;
b.nama, jabatan, dan tempat kedudukan tergugat;
c. dasar gugatan dan hal yang diminta untuk diputuskan oleh Pengadilan.
(2) Apabila gugatan dibuat dan ditandatangani oleh seorang kuasa penggugat, maka gugatan harus disertai surat kuasa yang sah.
(3) Gugatan sedapat mungkin juga disertai Keputusan Tata Usaha Negara. yang disengketakan oleh penggugat.

Alasan gugatan sebagaimana diatur dalam UU No.5 Th. 1986 diatur dalam Pasal 53 ayat
(2), yaitu:

a) Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang berlaku;
b) Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan keputusan telah menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain dari maksud diberikannya wewenang tersebut (Melanggar larangan penyalahgunaan wewenang / detournement de pouvior);
c) Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan atau tidak mengeluarkan keputusan setelah mempertimbangkan semua kepentingan yang tersangkut dengan keputsan itu seharusnya tidak sampai pada pengambilan atau tidak pengambilan keputusan tersebut (melanggar larangan willekeur/ sewenang-wenang ).

Meskipun dalam Pasal 53 ayat (2) haya ditentukan 3 alasan dalam mengajukan gugatan, akan tetapi dalam yurisprudensi dan doktrin dikenal pula adanya alasan gugatan berdasarkan asas-asas umum pemerintahan yang baik/layak/patut (AUPB/L/P). Setelah perubahan UU PTUN, yaitu
dengan UU No.9 Th. 2004, alasan gugatan menjadi dua macam, yaitu:
a) Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang berlaku,
b) Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.

Dalam penjelasan Pasal 53 ayat (2) dijelaskan, bahwa yang dimaksud dengan .asas-asas umum pemerintahan yang baik. adalah meliputi asas: kepastian hukum; tertib penyelenggaraan negara; keterbukaan; proporsionalitas; profesionalitas; akuntabilitas, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Dengan penafsiran otentik sebagaimana Penjelasan Pasal 53 tersebut, sebenarnya dapat timbul beberapa pertanyaan mendasar, yaitu: pertama, bagaimanakah kedudukan AUPB doktrinal dalam kaitannya dengan alasan gugatan, kedua, mengapa dalam penjelasan tersebut hanya diuraikan 6 asas, padahal UU No.28 Tahun 1999 menyebutkan 7 asas.

Dalam pada itu, untuk menganalisa apakah suatu KTUN itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dapat digunakan ukuran dibawah ini. Pejabat Tata Usaha Negara dikatakan telah melanggar peraturan perundang-undangan, jika Keputusan yang diterbitkan:

(1) Bertentangan dengan ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersifat prosedural/formal;
(2) Bertentangan dengan ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersifat materiil/Subtansial;
(3) Dikeluarkan oleh Badan/Pejabat tata usaha negara yang tidak berwenang, dalam hal keputusan dikeluarkan oleh:
a. Pejabat yang membuat keputusan tidak memiliki kewenangan tersebut, dalam arti keputusan tersebut tidak ada dasarnya dalam peraturan perundang-undangan;
b. Pejabat yang membuat keputusan melampaui kewenangan karena wilayah hukumnya diluar batas kewenangannya;
c. Badan/Pejabat TUN belum berwenang atau tidak berwenang lagi mengeluarkan Keputusan TUN, artinya dari segi waktu Badan/Pejabat TUN belum berwenang atau tidak berwenang lagi mengeluarkan keputusan.

Izin Mendirikan Bangunan

Menurut SF. Marbun dan Moh. Mahfud MD bentuk-bentuk perizinan dibagi atas 4 (empat) yaitu :

1. Dispensasi atau Bebas Syarat

Yaitu apabila pembuat paraturan secara umum tidak melarang sesuatu Peraturan Perundang-Undangan menjadi tidak berlaku karena sesuau hal yang sangat istimewa. Adapun tujuan diberikannya dispensasi itu adalah agar seseorang dapat melakukan suatu perbuatan hukum yang menyimpang atau menerobos Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku. Pemberian dispensasi itu umumnya harus memenuhi syarat-syarat tertentu yang ditetapkan dalam undang-undang yang bersangkutan.

2. Verguining atau Izin

Yaitu apabila pembuat peraturan secara umum tidak melarang sesuatu perbuatan asal saja dilakukan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku. Perbuatan administrasi negara yang memperkenankan perbuatan tersebut bersifat suatu izin.

3. Lisensi (Licentie)

Menurut Prins nama lisensi lebih tepat untuk digunakan dalam hal menjalankan suatu perusahaan dengan leluasa (suatu macam izin yang istimewa). Sehingga tidak ada ganguan lainnya termasuk dari pemerintah sendiri.

4. Konsensi

Yaitu apabila pihak swasta memperoleh delegasi kekuasaan dari pemerintah untuk melakukan sebagian pekerjaan/tugas yang seharusnya dikerjakan oleh pemerintah, tetapi oleh pemerintah diberikan hak penyelenggaraannya kepada konsesionaris (pemegang izin). Adapun tugas dari pemerintah atau bestur adalah menyelenggarakan kesajahtaraan umum. Jadi kesejahtaraan atau kepentingan umum harus selalu menjadi syarat utama, bukan untuk mencari keuntungan semata-mata. Pendelegasian wewenang itu diberikan karna pemerintah tidak mempunyai cukup tenaga maupun fasilitas untuk melakukan sendiri. konsensi ini hampir dapat diberikan dalam segala bidang.

Prajudi Atmosudirjo menyatakan perizinan merupakan penetapan yang memberikan keuntungan yaitu :

1. Dispensasi

Pernyataan dari penjabat yang berwenang bahwa sesuatu ketentuan Undang-Undang tertentu memang tidak berlaku terhadap kasus yang diajukan seseorang dalam surat permintannya.

2. Izin atau Verguinning

Tidak melarang suatu perbuatan tetapi untuk dapat melakukannya diisyaratkan prosedur tertentu harus dilalui.

3. Lisensi

Izin yang bersifat komersial dan mendatangkan laba.

4. Konsensi

Penetapan yang memungkinkan konsesionaris mendapat dispensasi, izin, lisensi dan juga semacam wewenang pemerintahan yang memungkinnya untuk memindahkan kampung, dan sebagainya. Oleh karna itu pemberian konsensi haruslah dengan kewaspadaan, kebijaksanaan dan perhitungan yang sematang-matangnya.

1. Pengertian Izin dan Izin Mendirikan Bangunan.

Hukum perizinan adalah merupakan bagian dari Hukum Administrasi Negara. Menurut Sjahcran Basah, izin adalah perbuatan hukum administrasi negara bersegi satu yang mengaplikaskan peraturan dalam hal konkret berdasarkan persyaratan dan prosedur sebagaimana ditetapkan oleh ketentuan perundang-undangan.

Adapun yang dimaksud dengan perizinan menurut penulis adalah: Melakukan perbuatan atau usaha yang sifatnya sepihak yang berada di bidang Hukum Publik yang berdasarkan wewenang tertentu yang berupa penetapan dari permohonan seseorang maupun Badan Hukum terhadap masalah yang dimohonkan.

Menurut Prins :
” Verguinning adalah keputusan Administrasi Negara berupa aturan, tidak umumnya melarang suatu perbuatan tapi masih juga memperkenankannya asal saja diadakan secara yang ditentukan untuk masing-masing hal yang kongkrit, maka perbuatan Administrasi Negara yang diperkenankan tersebut bersifat suatu izin ”.

Menurut Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 14 Tahun 1998 Pasal 1 huruf N pengertian bangunan adalah :
” Bangunan adalah suatu perwujudan fisik yang digunakan sebagai sarana kegiatan manusia ”.

Secara umum pengertian bangunan adalah sesuatu yang memakan tempat. Sedangkan pengertian mendirikan bangunan sebagaimana yang diatur dalam Perda ini adalah : ”Pekerjaan mengadakan bangunan seluruhnya atau sebagian termasuk pekerjaan menggali, menimbun atau meratakan tanah yang berhubungan dengan pekerjaan mengadakan bangunan”.

Jadi izin mendirikan bangunan adalah izin yang diberikan oleh pemerintah daerah kepada orang pribadi atau badan hukum untuk mendirikan bangunan yang dimaksudkan agar pembangunan yang dilaksanakan sesuai dengan tata ruang yang berlaku dan sesuai dengan syarat-syarat keselamatan bagi yang menempati bangunan tersebut.

Mengenai pengaturan dari izin mendirikan bangunan diatur oleh Perda setempat dimana bangunan itu akan didirikan. Namun pada dasarnya tidak terlepas dari ketentuan atau undang-undang yang secara garis besar/umum dan menjadi dasar pembentukan peraturan di Indonesia yaitu Undang-Undang Dasar 1945 dimana dalam Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945

Dari bunyi Pasal 18 tersebut dapat disimpulkan bahwa daerah Indonesia di bagi dalam daerah provinsi. Provinsi dibagi lagi dalam daerah yang lebih kecil, dan setiap daerah tersebut diberi kebebasan untuk mengurus dan menyelenggarakan pemerintahan di daerahnya baik berupa Daerah Otonomi maupun Administratif.

2. Tujuan dan Fungsi Izin dan Izin Mendirikan Bangunan

Secara umum tujuan dan fungsi dari perizinan adalah untuk pengendalian dari pada aktifitas pemerintah dalam hal-hal tertentu dimana ketentuannya berisi pedoman-pedoman yang harus dilaksanakan oleh baik yang berkepentingan ataupun oleh penjabat yang berwenang.

Selain itu tujuan dari perizinan itu dapat dilihat dari dua sisi yaitu :
1.Dari sisi pemerintah
2.Dari sisi masyarakat

Dari Sisi Pemerintah tujuan pemberian izin itu adalah :

a. Untuk melaksanakan peraturan apakah ketentuan-ketentuan yang termuat dalam peraturan tersebut sesuai dengan kenyataan dalam prakteknya atau tidak dan sekaligus untuk mengatur ketertiban. Izin dapat diletakan dalam fungsi menertibkan masyarakat.

b. Sebagai sumber pendapatan daerah
Dengan adanya permintaan permohonan izin maka secara langsung pendapatan pemerintah akan bertambah karena setiap izin yang dikeluarkan pemohon harus membayar retribusi terlebih dahulu. Semakin banyak pula pendapatan dibidang retribusi tujuan akhirnya yaitu untuk membiayai pembangunan.

Dari Sisi Masyarakat tujuan pemberian izin itu adalah:
a.Untuk adanya kepastian hukum.
b.Untuk adanya kepastian hak.
c.Untuk memudahkan mendapatkan fasilitas.

Bila bangunan yang didirikan telah mempunyai izin akan lebih mudah mendapat fasilitas. Ketentuan-ketentuan yang dikeluarkan oleh pemerintah mempunyai fungsi masing-masing. Begitu pula halnya dengan ketentuan tentang perizinan mempunyai fungsi yaitu :
a.sebagai fungsi penertib
b.sebagai fungsi pengatur

Fungsi penertib dimaksudkan agar izin atau setiap izin atau tempat-tempat usaha, bangunan dan bentuk kegiatan masyarakat lainnya tidak bertentangan satu sama lain, sehingga ketertiban dalam setiap segi kehidupan masyarakat dapat terwujud.

Fungsi mengatur dimaksudkan agar perizinan yang ada dapat dilaksanakan sesuai dengan peruntukannya, sehingga terdapat penyalahgunaan izin yang telah diberikan, dengan kata lain, fungsi pengaturan ini dapat disebut juga sebagai fungsi yang dimiliki oleh pemerintah. Hal ini disesuaikan dengan rencana pemerintah. Yang dimaksud dengan rencana adalah salah satu bentuk dari perbuatan hukum administrasi negara yang menciptakan hubungan hukum (yang mengikat) antara penguasa dan para warga masyarakat.

Tujuan izin mendirikan bangunan adalah untuk melindungi kepentingan baik kepentingan pemerintah maupun kepentingan masyarakat yang dutujukan atas kepentingan hak atas tanah.

Sedangkan fungsi dari izin bangunan ini dapat dilihat dalam beberapa hal :

1. Segi Teknis Perkotaan

Pemberian izin mendirikan banguan sangat penting artinya bagi pemerintah daerah guna mengatur, menetapkan dan merencanakan pembangunan perumahan diwilayahnya sesuai dengan potensial dan prioritas kota yang dituangkan dalam Master Plan Kota.

Untuk mendapatkan pola pembangunan kota yang terencana dan terkontrol tersebut, maka untuk pelaksanaan sutau pembangunan diatas wilayah suatu kota diwajibkan memiliki izin mendirikan bengunan dan penggunaannya sesuai dengan yang disetujui oleh Dinas Perizinan dan Pengawasan Pembangunan Kota (DP3K).

Dengan adanya pengaturan pembangunan perumahan melalui izin ini, maka pemerintah didarah dapat merencanakan pelaksanaan pembangunan berbagai sarana serta unsur kota dengan berbagai instansi yang berkepentingan. Hal ini penting artinya agar wajah perkotaan dapat ditata denga rapi serta menjamin keterpaduan pelaksanaan pekerjaan pembengunan perkotaan. Penyesuaian pemberian izin mendirikan bengunan dengan Master Plan Kota akan memungkinkan adanya koordinasi antara berbagai departemen teknis dalam melaksanakan pembangunan kota.

2. Segi Kepastian Hukum

Izin mendirikan bangunan penting artinya sebagai pengawasan dan pengendalian bagi pemerintah dalam hal pembangunan perumahan. Mendirikan bangunan dapat menjadi acuan atau titik tolak dalam pengaturan perumahan selanjutnya. Bagi masyarakat pentingnya izin mendirikan bangunan ini adalah untuk mendapatkan kepastian hukum terhadap hak bangunan yang dilakukan sehingga tidak adanya gangguan atau hal-hal yang merugikan pihak lain dan akan memungkinkan untuk mendapatkan keamanan dan ketentraman dalam pelaksanaan usaha atau pekerjaan.

Selain itu izin mendirikan bangunan tersebut bagi sipemilknya dapat berfungsi sebagai :
a. bukti milik bangunan yang sah
b. kekuatan hukum terhadap tuntutan ganti rugi dalam hal :

1. Terjadinya hak milik untuk keperluan pembangunan yang bersifat untuk kepentingan hukum.

2. Bentuk-bentuk kerugian yang diderita pemilik bangunan lainya yang berasal dari kebijaksanaan dan kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah.

3. Segi Pendapatan Daerah

Dalam hal ini pendapatan daerah, maka izin mendirikan bangunan merupakan salah satu sektor pemasukan yang tidak dapat diabaikan begitu saja. Melalui pemberian izin ini dapat dipungut retribusi izin mendirikan bangunan.

4. Landasan Hukum Perizinan Di Indonesia Dalam Kaitan Dengan Otonomi Daerah

Mengenai pengaturan dari perizinan ini dapat kita tinjau satu persatu sesuai dengan jenis izinnya masing-masing, secara ringkas pengaturan perizinan dapat disebutkan sebagai berikut :

1. Hindeer Ordonantie/Undang-Undang Gangguan
Diundangkan pada tanggal 13 Juni 1926, Stb Nomor 226 Tahun 1926, mulai berlaku tanggal 1 Agustus 1926, dirubah paling akhir dengan stb tahun 1940, Ordonantie ini mengatur masalah perizinan apabila seseorang atau badan hukum akan mendirikan tempat usaha.

2. SVO (Staat Verinig Ordonantie)
Mengatur mengenai masalah pembinaan kota.

3. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup. Yang telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997.

4. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan / AMDAL.

5. Peraturan Daerah Nomor 14 Tahun 1998 tentang Bangnan Di Wilayah Kotamadya Daerah Tingkat II Bandung.