Senin, 16 November 2009

SISTEM HUKUM ADMINISTRASI NEGARA DALAM KONSEP WELFARE STATE

I. LATAR BELAKANG

Perkembangan tipe negara hukum membawa konsekuensi terhadap peran Hukum Administrasi Negara (HAN), karena semakin sedikit campur tangan negara dalam kehidupan masyarakat akan semakin kecil pula peran HAN didalamnya, sebaliknya dengan semakin intensifnya campur tangan tadi akan semakin besar pula peran HAN.

Hal ini sejalan dengan konsep negara welfare state, administrasi negara diwajibkan untuk berperan secara aktif diseluruh segi kehidupan masyarakatnya, maka ini malah merupakan salah satu sipat khas pemerintahan moderen (negara hukum moderen). Maka penulis mencoba ingin membedah bagaimana substansi peran Hukum Administrasi Negara seperti pendapat Wade and Phillips yang memberikan batasan-batasan sebagai berikut :

1. Kaidah hukum yang mengatur bagaimana organ-organ kekuasaan negara menjalankan kekuasaannya.

2. Kaidah hukum yang mengatur hubungan kekuasaan antara lembaga negara (administrasi negara) yang ada, dan antara lembaga negara (administrasi negara) dengan masyarakat (warga negara)

3. Kaidah hukum yang sekaligus memberikan jaminan dan perlindungan baik bagi masyarakat maupun administrasi negara itu sendiri.

Selanjutnya dalam tataran implementasi dari peran administrsi negara sebagai pembatasan kekuasaan dapat dilihat dari instrumen-instrumen HAN yang dipandang dapat menjadikan peran masing-masing seperti pemrintah sebagai pejabat administrasi negara dan masyarakat sebagai konstituen yang harus dilayani oleh pejabat atau fungsi administrasi negara ini harus berjalan dengan seimbang satu sama lain.

Apabila ada gesekan yang berhubungan dengan peran dan pungsi administrasi negara dengan masyarakat maka hukum administrasi negara ini menjadi regulasi yang dapat menyjadi pemecahan masalah agar tidak merugikan salah satu pihak. Agar dapat mempermudah studi kepustakaan ini maka kiranya diperlukan identifikasi masalah untuk memudahkan dalam pembahasannya selanjutnya sebagai berikut: Pertama, Apa yang dimaksud Hukum Administrasi Negara ? Kedua, Bagaimana Peran Sebagai Substansi Hukum Administrasi Negara ?

Untuk hal tersebut maka penulis akan berupaya mengelaborasi materi tersebut dengan tulisan yang berjudul “SISTEM HUKUM ADMINISTRASI NEGARA DALAM KONSEP WELFARE STATE”

II. PEMBAHASAN

A. Pengertian Kekuasaan

Dari sudut etimologi, kekuasaan secara sederhana dan umum diartikan sebagain “kemampuan berbuat dan bertindak” (power is an abnility to do or act). Sedangakan didalam kamus hukum, kekuasaan diberi pengertian sebagai :
“…, is ability on the part of a person to produce a change in a given legal relation by doing a given act,” atau pun juga; “…, is aliberty authority reserved by, or limited to, a person to dispose of real or personal property, for his own benefit, or benefit of others, or enabling one person to dispose of interest which is vested in another,”

Pengertian menurut kamus bahasa dan kamus hukum tersebut memperlihatkan bahwa kekuasaan adalah suatu kemampuan yang terdapat didalam hubungan antar manusiaa (sosial) sebagai wadah penerapan kekuasaan, dapat juga dipahami dan definisi yang dikemukakan oleh Miriam Budiardjo, yaitu : “ …,kemampuan seseorang atau sekelompok manusia untuk mempengaruhi tingkah laku seseorang atau kelompok lain sedemikian rupa hingga tingkah laku itu sesuai dengan keinginan dan tujuan dari orang yang mempuanyai kekuasaan itu”.

Setiap individu mempunyai beraneka ragam meksud dan tujuan yang hendak diperolehnya dan pelksanaan interaksi sosial. Oleh sebab itu upaya-upaya “mempengaruhi pihak lain” menjadi sentral dari tiap-tiap penyelenggaraan kekuasaan. Bahkan mendasar dari hal itu, kekuasaan sering diasumsikan sebagai nilai yang seolah-olah wajib untuk dipunyai. Dengan demikian pengendalian pihak-pihak lain dari syarat mutlak, yakni terutama dalam rangaka memelihara keselamatan diri maupun harta benda sendiri. Keadaan serupa tercermin pada definisi kekuasaan yang dikemukakan oleh Ossip K. Flechtheim, yakni :
“…,merupakan keseluruhan dari kemampuan, hubungan-hubungan dan proses-proses yang menghasilkan ketaatan dari pihak lain…,untuk tujuan-tujuan yang ditetapkan oleh pemegang kekuasaan”.

Dari beberapa pengertian yang telah dipaparkan, kiranya dapat diketahui beberapa hal esensial tentang kekuasaan, yaitu sebagai berikut :

1. Merupakan kemampuan untuk mempengaruhi atau pengendalikan pihak lain;
2. Terdapat di dalam suatu interaksi sosial;
3. Mencakup seluruh hubungan dan proses yang terdapat pada interaksi sosial;
4. Mengandung aspek paksaan (memaksa); serta
5. Mempunyai maksud dan tujuan penyelenggaraan.

Selanjutnya, apakah yang dimaksus dengan kekuasaan negara ? negara sering dipandang sebagai interaksi kekuasaan. Disamping pandangan tersebut masih terdapat pengertian-pengertian lain tentang negara. Dari sekian banyak pengertian dapat disebutkan setidaknya tiga pengertian negara, yaitu :

1. the organization of sosial life which exersice sovereign power in behalf of the people;

2. A body of people accupying a definite territory and politically organized under one government; atau juga

3. A territorial unit with a distinc general body of law.

Bedasarkan pengertian diatas, secara etimologi, kekuasaan negara dapat kiranya diartikan sebagai “kemampuan organisasi kehidupan sosial dalam suatu wilayah untuk memaksa seluruh golongan dan kelompok sosial dalam suatu wilayah untuk memaksa seluruh golongan dan kelompok sosial yang ada, secara sah berdasarkan ketentuan-ketentuan hukum untuk mecapai tujuan kehidupan bersama yang ditetapkan sebelumnya”. Pihak atau organ yang menyelenggarakan kekuasaan negara adalah pemerintah, baik dalam arti sempit – terbatas hanya adminstrasi negara (lembaga eksekutif) – maupun dalam arti luas – meliputi seluruh badan kenegaraan yang terdapat di dalam negara.

Kekuasaan, menurut pakar sosiologi – politik, berasal dari lima sumber, yaitu :

1. Kekuatan (kekerasan) fisik;
2. Kedudukan atau jabatan;
3. Kekayaan;
4. Kepercayaan atau keyakinan;
5. Ketrampilan dan keahlian.

B. Sumber Kekuasaan Administrasi Negaera

Pembahasan sumber kekuasaan negara ini akan sangat menarik apabila kita coba telusuri dari paham-paham yang pernah ada, sumber kekuasaan negara ataupun kekuasaan yang dimiliki penguasa (penyelenggara) negara, dapat dipahami melalui lima teori (paham) kedaulatan. Kelima paham diatas, sumber kekuasaan negara taupun kekuasaan yang dimiliki penguasa (penyelenggara) negara, dapat dipahami melalui lima teori (paham) kedaulatan. Kelima paham kedaulatan tersebut adalah :

1 Paham Kedaulatan Tuhan

Terdapat daua klasifikaasi paham kedaulatan Tuhan, yang masing-masingnya diwakili oleh pandangan Augustinus (klasik) serta Thomas Aquinas (hukum moderat; modern). Meski menyiratkan perbedaan tertentu, namun kedua mengasumsikan bahwa kekuasaan negara adalah berasal dari Sang Pencipta (Tuhan). Sebagai konsekuensi logisnya, masyarakat berhak menolak (tidak mentaati) berbagai perintah dari penguasa yang melanggar ketentuan atau norma moral dan keadilan yang dikehendaki oleh Tuhan Allah;

2 Paham Kedaulatan Raja

Kekuasaan dimiliki oleh penguasa negara (raja) karena keabsolutan negara, yang digambarkan Thomas Hobbes sebagai “leviathan” – makhluk yang kaut tanpa tandingan. Oleh sebab itu negara dapat memastikan dan memaksakan ketaatan masyarakat terhadap berbagai peraturan yang ditetapkannya. Keabsolutan sifat dari negara mengakibatkan warga masyarakat sama sekali tidak memiliki hak apapun terhadap negara;

3 Paham Kedaulatan Negara

Menurut paham kedaulatan negara, bahwa kekuasaan yang terdapat di dalam negara merupakan resultan dari kodrat alam. Oleh inspirator paham ini – antara lain, George Jellineck dan Paul Laband – dikemukakan bahwa kekuasaan penguasa adalah yang tertinggi. Setiap perintah dari penguasa negara yang dimanisfestasikan dalam hukum haruslah ditaati oleh masyarakat;

4 Paham Kedaulatan Rakyat

Paham ini dipelopori oleh Jean Jacques Rousseau, John Locke dan Montesquieu. Secara garis besarnya, menurut mereka, kekuasaan negara yang diselenggarakan oleh para penguasa adalah berasal dari rakyat. Hal tersebut dimungkinkan karena negara pada hakekatnya adalah produk dari perjanjian di antara masyarakat. Sebagai konsekuensinya, bahwa setiap hukum akan mengikat sepanjang itu disetujui oleh rakyat;

5 Paham Kedaulatan Hukum

Kekuasaan tertinggi di dalam negara, menurut paham yang dipelopori oleh Immanuel Kant serta Leon Duguit, bukan bersumber dari Allah, Raja, Negara ataupun Rakyat. Segala kekuasaan negara yang diselenggarakan penguasa maupun oleh rakyat, pada dasarnya berasal dari hukum. Konsokuensinya, bahwa kekuasaan yang diperoleh tidakberdasarkan hukum dipandang tidak sah dan tidak perlu ditaati.

III. HUKUM ADMINISTRASI DAN NEGARA WELFARE STATE

A. Pengertian Hukum Administrasi Negara

Sebagai bagian dari ilmu hukum, baik substansi maupun pengertian hukum administrasi negara terus berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat. Di abad pertengahan, misalnya, hukum administrasi negara banyak diberi pengertian sebagai aturan-aturan hukum yang harus diperhatikan oleh perlengkapan negara didalam menjalankan pekerjaan tugasnya. Pengertian tersebut kemudian berkembang menjadi serangkaian aturan hukum yang mengatur cara bagaimana administrasi negara menjalankan fungsinya, yakni pada awal abad 20. Perkembangan pengertian itu terjadi disebabkan semakin kompleksnya fungsi-fungsi pemerintah yang diselenggarakan oleh administrasi negara.

Berbagai perkembangan dalam kehidupan masyarakat yang mempengaruhi fungsi-fungsi adminstrasi negara cukup berpengaruh pada batasan pengertian yang dikemukakan kalangan ilmuwan hukum. Berikut ini akan dikemukakan definisi hukum administrasi negara dari beberapa sarjana hukum.

Menurut de La Bassecour Caan, bahwa yang dimaksud dengan hukum administrasi negara adalah :
“himpunan peraturan-peraturan tertentu yang menjadi sebab maka negara berfungsi (beraksi). Maka peraturan-peraturan itu mengatur hubungan-hubungan antar tiap-tiap warga (negara) dengan pemerintahnya”.

Kemudian oleh Van Vollenhoven disebutkan bahwa, “Hukum adminstrasi negara adalah suatau gabungan ketentuan-ketentuan yang mengikat badan-badan yang tinggi maupun yang rendah apabila badan-badan itu menggunakan wewenangnya yang diberikan kepadanya oleh hukum tata negara”.

Melalui batasan pengertian yang dikemukakannya, Van Vollenhoven hendak memaparkan bahwa HAN merupakan kelanjutan dari HTN. Hukum Administrasi Negara menggambarkan pada kita tentang negara dalam keadaaan bergerak (staats in berweging).

Sedangkan menurut J.H.A. Logemann, hukum administrasi negara adalah :
“ hukum mengenai hubungan-hubungan antara jabatan-jabatan satu dengan yang lainnya, serta hukum antara jabatan-jabatan negara itu dengan para warga masyarakat.”

Meskipun didefinisikan secara beraneka ragam, tetapi dari pendapat ketiga sarjana tersebut dapat dipahami setidaknya dua hal essensial tentang hukum administrasi negara, yaitu :

1 Merupakan aturan hukum yang mengatur dan menyebabkan negara berfungsi;
2 Merupakan aturan hukum yang mengatur hubungan antara administrasi negara dengan masyarakat.

Keanekaragaman pengertian yang diberikan terhadap hukum adminstrasi negara juga ditemikan di antar pakar hukum di Indonesia. Hal ini dapat dilihat pada beberapa pengertian berikut ini.

Hukum administrasi negara, atau yang disebut sebagai hukum pemerintahan, menurut E. Utrecht adalah :
“menguji hubungan hukum istimewa yang diadakan akan memungkinkan para pejabat (ambtsdragers) administrasi negar melakukan tugas mereka yang khusus”.

Selanjutnya oleh Muchsan, hukum adminstrasi negara dirumuskan sebagai “hukum mengenai struktur dan kefungsian administrasi negara”. Dengan demikian, hematnya, hukum adminstrasi negara dapat dibedakan dalam dua jenis, yaitu :

1. Sebagai HAN, hukum mengenai operasi dan pengendalian kekuasaan adminstrasi, ataupun pengawasan terhadap penguasa-penguasa administrasi;

2. Sebagai hukum buatan administrasi, maka HAN merupakan hukum yang menjadi pedoman dalam penyelenggaraan UU.

Di satu bagian lain, Prajudi Atmosudirdjo berpendapat bahwa hukum administrasi negara adalah : “hukum yang mengenai pemerintah beserta aparatnya yang terpenting yakni administrasi negara”, atau merupakan : “hukum yang mengatur wewenang, tugas, fungsi dan tingkah laku para Pejabat Administrasi Negara yang bonafide, artinya : yang tertib, sopan, berlaku adil dan objektif, jujur, efisien dan fair (sportif)”.

Pada bagian lain, menurutnya, bahwa hukum administrasi negara pada dasarnya dapat dibedakan dalam dua klasifikasi, yakni :

1 HAN heteronom, merupakan hukum yang mengatur seluk beluk administrasi negara, mencakup tentang :

a. Dasar-dasar prinsip-prinsip umum administrasi negara
b. Organisasi administrasi negara, termasuk juga pengertian dekonsentrasi dan desentralisasi;
c. Berbagai aktivitas dari administrasi negara;
d. Seluruh sarana administrasi negara; serta
e. Badan peradilan administrasi.

2. HAN otonom, merupakan hukum yang dibentuk oleh administrasi negara sendiri.

B. Perluasan Kekuasaan Administrasi Negara

Negara hukum modern telah terjadi suatu peluasan kekuasaan yang dimiliki administrasi negara. Perluasan tersebut tidak hanya dibidang penyelenggaraan pemerintahan saja, akan tetapi juga mencakup bidang pembuatan perundang-undangan (materiil) dan bidang peradilan (voluntaire juridictie).

Mengingat argumentasi teoritis maupun praktis yang menegaskan bahwasanya suatu kekuasaan cenderung diselewengkan, apalagi jika kekuasaan itu sedemikian luas dimiliki, maka sudah tentu dibutuhkan upaya pembatasan terhadapnya. Bagi negara kesejahteraan (welfare state), pembatasan itu akan sangat mendukung pencapaian hasil-hasil yang lebih baik dan mantap dari pelaksanaan fungsi bestuurszorg.

C. Penyelenggaraan Pemerintahan Welfare – State

Konsep welfare state atau sosial service-state, yaitu negara yang pemerintahannya bertanggung jawab penuh untuk memenuhi berbagai kebutuhan dasar sosial dan ekonomi dari setiap warga negara agar mencapai suatu standar hidup yang minimal, 21 merupakan anti-tesis dari konsep “negara penjaga malam” (nachtwakerstaat) yang tumbuh dan berkembang di abad ke 18 hingga pertengahan abad ke 19.

Didalam negara penjaga malam atau negara hukum dalam arti sempit (rechtstaat in engere zin). Pemerintah hanya pempertahankan dan melindungi ketertiban sosial serta ekonomi berlandaskan asas “laissez faire, laissez aller”. Negara dilarang keras untuk mencampuri perekonomian maupun bidang kehidupan sosial lainnya. Dengan perkataan lain, administrasi negara bertugas (berfungsi) untuk mempertahankan suatu staatsonthouding, yakni prinsip pemisahan negara dari kehidupasn sosial – ekonomi masyarakat. Dalam konsep welfare state, administrasi negara diwajibkan untuk berperan secara aktif di seluruh segi kehidupan masyarakatnya. Dengan begitu sifat khas dari suatu pemerintahan modern (negara hukum modern) adalah, terdapatnya pengakuan dan penerimaan terhadap peranan-peranan yang dilakukannya sehingga suatu kekuatan yang aktif dalam rangka membentuk (menciptakan) kondisi sosial, ekonomi dan lingkungan fungsinya.

Perkembangan masa yang berlangsung mengakibatkan perubahan secara mendasar atas peranan dan fungsi-fungsi yang diselenggarakan pemerintah. Negara selaku integritas kekuasaan massa, sudah tentu membutuhkan suatu tingkat kestabilan khusus dalam sistem sosialnya untuk tetap dapat mempertahankan keseimbangan antara peranan atau penyelenggaraan fungsi-fungsinya dengan tujuan-tujuan yang akan dicapai. Dalam upaya mencapai hal tetrsebut, tidak saja diperlukan keselarasan atas tujuan-tujuan yang dikehendaki oleh kelompok-kelompok sosial maupun kelompok–kelompok ekonomi yang terdapat pada negara, akan tetapi juga kreativitas untuk menciptakan secara terarah berbagai kondisi kesejahteraan sosial yang dikehendaki masyarakat.

Sebagai konsekuensi dari melekatnya fungsi servis publik (bestuuszorg), maka administrasi negara makin dipaksa untuk menerima tanggung jawab positif dalam hal menciptakan dan mendistribusikan tingkat pendapatan maupun kekayaan, serta menyediakan program kesejahteraan rakyat. Hal tersebut khususnya dalam bidang pendidikan, kesehatan, lapangan kerja, perlakuan hukum yang sama, jaminan sosial. Melalui upaya-upaya itu eksistensi pemerintah hampir diseluruh dunia, tumbuh menjadi suatu pemerintah yang besar dan kuat, baik itu didalam runag lingkup fungsi maupun jumlah personal yang dibutuhkannya untuk melaksanakan tanggung jawabnya.

Setidak-tidaknya ada dua masalah penting akibat terjadnya perkembangan peranan dan fungsi administrasi negara. Pertama, dengan makin pesatnya pertambahan jumlah personal penyelenggara fungsi servis publik, maka diasumsikan akan terjadi peningkatan jumlah korban sebagai akibat penekanan rejim pemerintah. Hubungan asumsi seperti itu, mungkin, cukup tercermin dari kecenderungan semakin tingginya penyelewengan – tindakan yang merugikan rakyat- dalam mencapai atau mewujudkan kesejahteraan rakyat.

Kedua, yakni masalah yang jauh lebih mengkhawatirkan, adalah kemungkinan terjadinya pemusatan kekuasaan pada administrasi negara. Kemungkinan tersebut lebih terbuka dengan diberikannya suatu “kebebasan” untuk bertindak atas inisiatif sendiri (freies ermessen; pouvoir discretionnaire) guna menyelesaikan permasalahan yang sdang dihadapi dan perlu segera diselesaikan.

IV. P E N U T U P

Dari analisis yang dilakukan terhadap masalah-masalah yang dikemukakan, dapat ditemukan beberapa kesimpulan sebagai berikut :

1. Hukum Administrasi Negara (HAN) sangat penting dan dibutuhkan dalam penyelenggaraan kekuasaan negara oleh administrasi negara. Keberadaan hukum administrasi negara tersebut adalah dalam satu visi. Di satu bagian hukum administrasi negara berperan mengatur wewenang, tugas dan fungsi administrasi negara berperan mengatur wewenang, tugas dan fungsi administrasi negara. Sedangkan pada bagian lain, hukum administrasi negara berperan membatasi kekuasaan yang diselenggarakan oleh administrasi negara;

2. Hukum administrasi negara mengakibatkan sikap tindak administrasi negara harus senantiasa rechtmatige dan wetmatige.

3. Di dalam pemerintahan welfare state, hukum administrasi negara berperan menyelaraskan seluruh sikap tindak dan penggunaan kekuasaan negara oleh administrasi negara, dengan nilai-nilai kemanusiaan dari segenap anggota masyarakat.

Kamis, 05 November 2009

Surat Kuasa Untuk Beracara Di PTUN

Surat kuasa merupakan suatu persetujuan dengan mana seseorang memberikan kuasa pada orang lain, yang menerimanya untuk atas namanya menyelenggarakan suatu urusan. Didalam surat kuasa terdapat unsur pemberian kewenangan kepada seorang atau beberapa orang, baik
sendiri-sendiri atau secara bersama-sama untuk menyelenggarakan suatu urusan pemberi kuasa. Bentuk pemberian kuasa dapat berupa pemberian kuasa secara umum ataupun secara khusus.

Perlu diketahui bahwasanya penunjukan kuasa hukum di PTUN sifatnya tidak wajib. Fungsi kuasa hukum merupakan alternatif, apakah kuasa hukum itu mendampingi dalam perkara atau mewakili dalam sengketa di Pengadilan. Pemberian kuasa hanya dapat diberikan kepada seseorang atau beberapa (atau banyak) orang yang memiliki ijin beracara di Pengadilan (dalam hal ini adalah advokat). Jaksa selaku Pengacara Negara, atau Pejabat Administarsi Negara yang dikuasakan untuk itu dapat pula berkedudukan sebagai Kuasa Hukum dari Badan/Pejabat Tata Usaha Negara yang berkedudukan sebagai tergugat.

Cara pemberian kuasa dapat dilakukan melalui surat kuasa khusus (tidak diperkenankan surat kuasa yang sifatnya umum) atau secara lisan dipersidangan. Jika surat kuasa diberikan secara tertulis, maka surat kuasa wajib dilampirkan dalam surat gugatan atau diserahkan dalam persidangan. Apabila tindakan penerima kuasa telah melampaui batas kewenangan yang
dikuasakan kepadanya, maka pemberi kuasa dapat mengajukan pembatalan kepada Hakim atas tindakan tersebut dan untuk selanjutnya tindakan kuasa hukum tersebut dicoret dari Berita Acara Persidangan.

Adapun elemen dari Surat Kuasa adalah sebagai berikut:
· Titel -> disebutkan “Surat Kuasa”, bagian tengah “khusus”.
· Identitas pemberi kuasa (nama,umur,pekerjaan, alamat)
· Identitas penerima kuasa (nama, profesi, alamat)
· Subjek tergugat & objek gugatan;
· Kompetensi relative;
· Penyebutan kewenangan penerima kuasa (khusus) secara limitatif;
· (hak upah, hak subtitusi jika di perlukan);
· Tanda tangan para pihak, tempat dan tanggal pembuatan serta ditempeli materai.

Suatu surat gugat harus memenuhi dua syarat, yaitu:
1. Syarat Formil
Gugatan harus memuat nama, kewarganegaraan, tempat tinngal, pekerjaan penggugat maupu kuasanya (termasuk melampirkan surat kuasa jika memakai kuasa) dan nama jabatan
dan tempat kedudukan tergugat.
2. Syarat Materiil
Gugatan harus memuat posita (dasar atau alasan-alasan gugatan) dan petitum (tuntutan baik tuntutan pokok maupun tambahan (ganti rugi dan/atau rehabilitasi)).

Adapun kerangka Surat Gugat sebagaimana diatur dalam Pasal 56 UU PTUN, adalah sebagai berikut:
(1) Gugatan harus memuat :
a.nama, kewarganegaraan, tempat tinggal, dan pekerjaan penggugat, atau kuasanya;
b.nama, jabatan, dan tempat kedudukan tergugat;
c. dasar gugatan dan hal yang diminta untuk diputuskan oleh Pengadilan.
(2) Apabila gugatan dibuat dan ditandatangani oleh seorang kuasa penggugat, maka gugatan harus disertai surat kuasa yang sah.
(3) Gugatan sedapat mungkin juga disertai Keputusan Tata Usaha Negara. yang disengketakan oleh penggugat.

Alasan gugatan sebagaimana diatur dalam UU No.5 Th. 1986 diatur dalam Pasal 53 ayat
(2), yaitu:

a) Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang berlaku;
b) Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan keputusan telah menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain dari maksud diberikannya wewenang tersebut (Melanggar larangan penyalahgunaan wewenang / detournement de pouvior);
c) Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan atau tidak mengeluarkan keputusan setelah mempertimbangkan semua kepentingan yang tersangkut dengan keputsan itu seharusnya tidak sampai pada pengambilan atau tidak pengambilan keputusan tersebut (melanggar larangan willekeur/ sewenang-wenang ).

Meskipun dalam Pasal 53 ayat (2) haya ditentukan 3 alasan dalam mengajukan gugatan, akan tetapi dalam yurisprudensi dan doktrin dikenal pula adanya alasan gugatan berdasarkan asas-asas umum pemerintahan yang baik/layak/patut (AUPB/L/P). Setelah perubahan UU PTUN, yaitu
dengan UU No.9 Th. 2004, alasan gugatan menjadi dua macam, yaitu:
a) Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang berlaku,
b) Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.

Dalam penjelasan Pasal 53 ayat (2) dijelaskan, bahwa yang dimaksud dengan .asas-asas umum pemerintahan yang baik. adalah meliputi asas: kepastian hukum; tertib penyelenggaraan negara; keterbukaan; proporsionalitas; profesionalitas; akuntabilitas, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Dengan penafsiran otentik sebagaimana Penjelasan Pasal 53 tersebut, sebenarnya dapat timbul beberapa pertanyaan mendasar, yaitu: pertama, bagaimanakah kedudukan AUPB doktrinal dalam kaitannya dengan alasan gugatan, kedua, mengapa dalam penjelasan tersebut hanya diuraikan 6 asas, padahal UU No.28 Tahun 1999 menyebutkan 7 asas.

Dalam pada itu, untuk menganalisa apakah suatu KTUN itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dapat digunakan ukuran dibawah ini. Pejabat Tata Usaha Negara dikatakan telah melanggar peraturan perundang-undangan, jika Keputusan yang diterbitkan:

(1) Bertentangan dengan ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersifat prosedural/formal;
(2) Bertentangan dengan ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersifat materiil/Subtansial;
(3) Dikeluarkan oleh Badan/Pejabat tata usaha negara yang tidak berwenang, dalam hal keputusan dikeluarkan oleh:
a. Pejabat yang membuat keputusan tidak memiliki kewenangan tersebut, dalam arti keputusan tersebut tidak ada dasarnya dalam peraturan perundang-undangan;
b. Pejabat yang membuat keputusan melampaui kewenangan karena wilayah hukumnya diluar batas kewenangannya;
c. Badan/Pejabat TUN belum berwenang atau tidak berwenang lagi mengeluarkan Keputusan TUN, artinya dari segi waktu Badan/Pejabat TUN belum berwenang atau tidak berwenang lagi mengeluarkan keputusan.

Izin Mendirikan Bangunan

Menurut SF. Marbun dan Moh. Mahfud MD bentuk-bentuk perizinan dibagi atas 4 (empat) yaitu :

1. Dispensasi atau Bebas Syarat

Yaitu apabila pembuat paraturan secara umum tidak melarang sesuatu Peraturan Perundang-Undangan menjadi tidak berlaku karena sesuau hal yang sangat istimewa. Adapun tujuan diberikannya dispensasi itu adalah agar seseorang dapat melakukan suatu perbuatan hukum yang menyimpang atau menerobos Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku. Pemberian dispensasi itu umumnya harus memenuhi syarat-syarat tertentu yang ditetapkan dalam undang-undang yang bersangkutan.

2. Verguining atau Izin

Yaitu apabila pembuat peraturan secara umum tidak melarang sesuatu perbuatan asal saja dilakukan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku. Perbuatan administrasi negara yang memperkenankan perbuatan tersebut bersifat suatu izin.

3. Lisensi (Licentie)

Menurut Prins nama lisensi lebih tepat untuk digunakan dalam hal menjalankan suatu perusahaan dengan leluasa (suatu macam izin yang istimewa). Sehingga tidak ada ganguan lainnya termasuk dari pemerintah sendiri.

4. Konsensi

Yaitu apabila pihak swasta memperoleh delegasi kekuasaan dari pemerintah untuk melakukan sebagian pekerjaan/tugas yang seharusnya dikerjakan oleh pemerintah, tetapi oleh pemerintah diberikan hak penyelenggaraannya kepada konsesionaris (pemegang izin). Adapun tugas dari pemerintah atau bestur adalah menyelenggarakan kesajahtaraan umum. Jadi kesejahtaraan atau kepentingan umum harus selalu menjadi syarat utama, bukan untuk mencari keuntungan semata-mata. Pendelegasian wewenang itu diberikan karna pemerintah tidak mempunyai cukup tenaga maupun fasilitas untuk melakukan sendiri. konsensi ini hampir dapat diberikan dalam segala bidang.

Prajudi Atmosudirjo menyatakan perizinan merupakan penetapan yang memberikan keuntungan yaitu :

1. Dispensasi

Pernyataan dari penjabat yang berwenang bahwa sesuatu ketentuan Undang-Undang tertentu memang tidak berlaku terhadap kasus yang diajukan seseorang dalam surat permintannya.

2. Izin atau Verguinning

Tidak melarang suatu perbuatan tetapi untuk dapat melakukannya diisyaratkan prosedur tertentu harus dilalui.

3. Lisensi

Izin yang bersifat komersial dan mendatangkan laba.

4. Konsensi

Penetapan yang memungkinkan konsesionaris mendapat dispensasi, izin, lisensi dan juga semacam wewenang pemerintahan yang memungkinnya untuk memindahkan kampung, dan sebagainya. Oleh karna itu pemberian konsensi haruslah dengan kewaspadaan, kebijaksanaan dan perhitungan yang sematang-matangnya.

1. Pengertian Izin dan Izin Mendirikan Bangunan.

Hukum perizinan adalah merupakan bagian dari Hukum Administrasi Negara. Menurut Sjahcran Basah, izin adalah perbuatan hukum administrasi negara bersegi satu yang mengaplikaskan peraturan dalam hal konkret berdasarkan persyaratan dan prosedur sebagaimana ditetapkan oleh ketentuan perundang-undangan.

Adapun yang dimaksud dengan perizinan menurut penulis adalah: Melakukan perbuatan atau usaha yang sifatnya sepihak yang berada di bidang Hukum Publik yang berdasarkan wewenang tertentu yang berupa penetapan dari permohonan seseorang maupun Badan Hukum terhadap masalah yang dimohonkan.

Menurut Prins :
” Verguinning adalah keputusan Administrasi Negara berupa aturan, tidak umumnya melarang suatu perbuatan tapi masih juga memperkenankannya asal saja diadakan secara yang ditentukan untuk masing-masing hal yang kongkrit, maka perbuatan Administrasi Negara yang diperkenankan tersebut bersifat suatu izin ”.

Menurut Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 14 Tahun 1998 Pasal 1 huruf N pengertian bangunan adalah :
” Bangunan adalah suatu perwujudan fisik yang digunakan sebagai sarana kegiatan manusia ”.

Secara umum pengertian bangunan adalah sesuatu yang memakan tempat. Sedangkan pengertian mendirikan bangunan sebagaimana yang diatur dalam Perda ini adalah : ”Pekerjaan mengadakan bangunan seluruhnya atau sebagian termasuk pekerjaan menggali, menimbun atau meratakan tanah yang berhubungan dengan pekerjaan mengadakan bangunan”.

Jadi izin mendirikan bangunan adalah izin yang diberikan oleh pemerintah daerah kepada orang pribadi atau badan hukum untuk mendirikan bangunan yang dimaksudkan agar pembangunan yang dilaksanakan sesuai dengan tata ruang yang berlaku dan sesuai dengan syarat-syarat keselamatan bagi yang menempati bangunan tersebut.

Mengenai pengaturan dari izin mendirikan bangunan diatur oleh Perda setempat dimana bangunan itu akan didirikan. Namun pada dasarnya tidak terlepas dari ketentuan atau undang-undang yang secara garis besar/umum dan menjadi dasar pembentukan peraturan di Indonesia yaitu Undang-Undang Dasar 1945 dimana dalam Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945

Dari bunyi Pasal 18 tersebut dapat disimpulkan bahwa daerah Indonesia di bagi dalam daerah provinsi. Provinsi dibagi lagi dalam daerah yang lebih kecil, dan setiap daerah tersebut diberi kebebasan untuk mengurus dan menyelenggarakan pemerintahan di daerahnya baik berupa Daerah Otonomi maupun Administratif.

2. Tujuan dan Fungsi Izin dan Izin Mendirikan Bangunan

Secara umum tujuan dan fungsi dari perizinan adalah untuk pengendalian dari pada aktifitas pemerintah dalam hal-hal tertentu dimana ketentuannya berisi pedoman-pedoman yang harus dilaksanakan oleh baik yang berkepentingan ataupun oleh penjabat yang berwenang.

Selain itu tujuan dari perizinan itu dapat dilihat dari dua sisi yaitu :
1.Dari sisi pemerintah
2.Dari sisi masyarakat

Dari Sisi Pemerintah tujuan pemberian izin itu adalah :

a. Untuk melaksanakan peraturan apakah ketentuan-ketentuan yang termuat dalam peraturan tersebut sesuai dengan kenyataan dalam prakteknya atau tidak dan sekaligus untuk mengatur ketertiban. Izin dapat diletakan dalam fungsi menertibkan masyarakat.

b. Sebagai sumber pendapatan daerah
Dengan adanya permintaan permohonan izin maka secara langsung pendapatan pemerintah akan bertambah karena setiap izin yang dikeluarkan pemohon harus membayar retribusi terlebih dahulu. Semakin banyak pula pendapatan dibidang retribusi tujuan akhirnya yaitu untuk membiayai pembangunan.

Dari Sisi Masyarakat tujuan pemberian izin itu adalah:
a.Untuk adanya kepastian hukum.
b.Untuk adanya kepastian hak.
c.Untuk memudahkan mendapatkan fasilitas.

Bila bangunan yang didirikan telah mempunyai izin akan lebih mudah mendapat fasilitas. Ketentuan-ketentuan yang dikeluarkan oleh pemerintah mempunyai fungsi masing-masing. Begitu pula halnya dengan ketentuan tentang perizinan mempunyai fungsi yaitu :
a.sebagai fungsi penertib
b.sebagai fungsi pengatur

Fungsi penertib dimaksudkan agar izin atau setiap izin atau tempat-tempat usaha, bangunan dan bentuk kegiatan masyarakat lainnya tidak bertentangan satu sama lain, sehingga ketertiban dalam setiap segi kehidupan masyarakat dapat terwujud.

Fungsi mengatur dimaksudkan agar perizinan yang ada dapat dilaksanakan sesuai dengan peruntukannya, sehingga terdapat penyalahgunaan izin yang telah diberikan, dengan kata lain, fungsi pengaturan ini dapat disebut juga sebagai fungsi yang dimiliki oleh pemerintah. Hal ini disesuaikan dengan rencana pemerintah. Yang dimaksud dengan rencana adalah salah satu bentuk dari perbuatan hukum administrasi negara yang menciptakan hubungan hukum (yang mengikat) antara penguasa dan para warga masyarakat.

Tujuan izin mendirikan bangunan adalah untuk melindungi kepentingan baik kepentingan pemerintah maupun kepentingan masyarakat yang dutujukan atas kepentingan hak atas tanah.

Sedangkan fungsi dari izin bangunan ini dapat dilihat dalam beberapa hal :

1. Segi Teknis Perkotaan

Pemberian izin mendirikan banguan sangat penting artinya bagi pemerintah daerah guna mengatur, menetapkan dan merencanakan pembangunan perumahan diwilayahnya sesuai dengan potensial dan prioritas kota yang dituangkan dalam Master Plan Kota.

Untuk mendapatkan pola pembangunan kota yang terencana dan terkontrol tersebut, maka untuk pelaksanaan sutau pembangunan diatas wilayah suatu kota diwajibkan memiliki izin mendirikan bengunan dan penggunaannya sesuai dengan yang disetujui oleh Dinas Perizinan dan Pengawasan Pembangunan Kota (DP3K).

Dengan adanya pengaturan pembangunan perumahan melalui izin ini, maka pemerintah didarah dapat merencanakan pelaksanaan pembangunan berbagai sarana serta unsur kota dengan berbagai instansi yang berkepentingan. Hal ini penting artinya agar wajah perkotaan dapat ditata denga rapi serta menjamin keterpaduan pelaksanaan pekerjaan pembengunan perkotaan. Penyesuaian pemberian izin mendirikan bengunan dengan Master Plan Kota akan memungkinkan adanya koordinasi antara berbagai departemen teknis dalam melaksanakan pembangunan kota.

2. Segi Kepastian Hukum

Izin mendirikan bangunan penting artinya sebagai pengawasan dan pengendalian bagi pemerintah dalam hal pembangunan perumahan. Mendirikan bangunan dapat menjadi acuan atau titik tolak dalam pengaturan perumahan selanjutnya. Bagi masyarakat pentingnya izin mendirikan bangunan ini adalah untuk mendapatkan kepastian hukum terhadap hak bangunan yang dilakukan sehingga tidak adanya gangguan atau hal-hal yang merugikan pihak lain dan akan memungkinkan untuk mendapatkan keamanan dan ketentraman dalam pelaksanaan usaha atau pekerjaan.

Selain itu izin mendirikan bangunan tersebut bagi sipemilknya dapat berfungsi sebagai :
a. bukti milik bangunan yang sah
b. kekuatan hukum terhadap tuntutan ganti rugi dalam hal :

1. Terjadinya hak milik untuk keperluan pembangunan yang bersifat untuk kepentingan hukum.

2. Bentuk-bentuk kerugian yang diderita pemilik bangunan lainya yang berasal dari kebijaksanaan dan kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah.

3. Segi Pendapatan Daerah

Dalam hal ini pendapatan daerah, maka izin mendirikan bangunan merupakan salah satu sektor pemasukan yang tidak dapat diabaikan begitu saja. Melalui pemberian izin ini dapat dipungut retribusi izin mendirikan bangunan.

4. Landasan Hukum Perizinan Di Indonesia Dalam Kaitan Dengan Otonomi Daerah

Mengenai pengaturan dari perizinan ini dapat kita tinjau satu persatu sesuai dengan jenis izinnya masing-masing, secara ringkas pengaturan perizinan dapat disebutkan sebagai berikut :

1. Hindeer Ordonantie/Undang-Undang Gangguan
Diundangkan pada tanggal 13 Juni 1926, Stb Nomor 226 Tahun 1926, mulai berlaku tanggal 1 Agustus 1926, dirubah paling akhir dengan stb tahun 1940, Ordonantie ini mengatur masalah perizinan apabila seseorang atau badan hukum akan mendirikan tempat usaha.

2. SVO (Staat Verinig Ordonantie)
Mengatur mengenai masalah pembinaan kota.

3. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup. Yang telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997.

4. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan / AMDAL.

5. Peraturan Daerah Nomor 14 Tahun 1998 tentang Bangnan Di Wilayah Kotamadya Daerah Tingkat II Bandung.