Hukum administrasi berisi peraturan-peraturan yang menyangkut “administrasi”. Administrasi sendiri berarti “bestuur” (pemerintah). Dengan demikian, hukum administrasi (administratief recht) dapat juga disebut dengan hukum tata pemerintahan (bestuursrecht). Pemerintah (bestuur) juga dipandang sebagai fungsi pemerintahan (bestuursfunctie) yang merupakan penguasa yang tidak termasuk pembentukan UU dan peradilan.
Hukum Administrasi Negara merupakan salah satu cabang atau bagian dari hukum yang khusus. Dalam studi Ilmu Administrasi, mata kuliah Hukum Administrasi Negara merupakan bahasan khusus tentang salah satu aspek dari administrasi, yakni bahasan mengenai aspek hukum dari administrasi Negara. Sedangkan dikalangan PBB dan kesarjanaan internasional, Hukum Administrasi Negara diklasifikasi baik dalam golongan ilmu-ilmu hukum maupun dalam ilmu-ilmu administrasi.
Hukum administrasi materiil terletak diantara hukum privat dan hukum pidana. Hukum administrasi dapat dikatakan sebagai “hukum antara” (Poly-Juridisch Zakboekje h. B3/4). Sebagai contoh Izin Bangunan. Dalam memberikan izin penguasa memperhatikan segi-segi keamanan dari bangunan yang direncanakan. Dalam hal demikian, pemerintah menentukan syarat-syarat keamanan. Disamping itu bagi yang tidak mematuhi ketentuan-ketentuan tentang izin bangunan dapat ditegakkan sanksi pidana. W.F. Prins mengemukakan bahwa “hampir setiap peraturan berdasarkan hukum administrasi diakhiri in cauda venenum dengan sejumlah ketentuan pidana (in cauda venenum secara harfiah berarti ada racun di ekor/buntut).
Menurut isinya hukum dapat dibagi dalam Hukum Privat dan Hukum Publik. Hukum Privat (hukum sipil), yaitu hukum yang mengatur hubungan-hubungan antara orang yang satu dengan orang yang lain, dengan menitikberatkan kepada kepentingan perseorangan. Sedangkan Hukum Publik (Hukum Negara), yaitu hukum yang mengatur hubungan antara negara dengan alat-alat perlengkapan atau hubungan antara negara dengan perseorangan (warga negara), yang termasuk dalam hukum publik ini salah satunya adalah Hukum Administrasi Negara.
Sementara dari segi definisi penulis cenderung lebih sependapat dengan pendapat dari E. Utrecht yaitu Hukum Administrasi Negara (hukum pemerintahan) menguji hubungan istimewa yang diadakan sehingga memungkinkan para pejabat (ambtsdrager) administrasi negara melakukan tugas mereka yang khusus.
Hukum yang mengatur sebagian lapangan pekerjaan administrasi negara. Bagian lain lapangan pekerjaan administrasi negara diatur dalam HTN, Hukum Privat dsbnya. Pengertian HAN tidak identik dengan pengertian “hukum yang mengatur pekerjaan administrasi negara". Maka dapat dikatakan bahwa HAN adalah suatu sb sistem dari Administrasi negara.
Hubungan Hukum Administrasi Negara dengan Ilmu Hukum Lainnya
1. Hukum Administrasi Negara dengan Hukum Tata Negara
Baron de Gerando adalah seorang ilmuwan Perancis yang pertama kali mempekenalkan ilmu hukum administrasi Negara sebagai ilmu hukum yang tumbuh langsung berdasarkan keputusan-keputusan alat perlengkapan Negara berdasarkan praktik kenegaraan sehari-hari. Maksudnya, keputusan raja dalam menyelesaikan sengketa antara pejabat dengan rakyat merupakan kaidah Hukum Administrasi Negara.Mr. W.F. Prins menyatakan bahwa Hukum Administrasi Negara merupakan aanhangsel (embel-embel atau tambahan) dari hukum tata negara. Sementara Mr. Dr. Romeyn menyatakan bahwa Hukum Tata Negara menyinggung dasar-dasar dari pada negara dan Hukum Administrasi Negara adalah mengenai pelaksanaan tekniknya. Pendapat Romeyn ini dapat diartikan bahwa Hukum Administrasi Negara adalah sejenis hukum yang melaksanakan apa yang telah ditentukan oleh Hukum Tata Negara, dan sejalan dengan teori Dwi Praja dari Donner, maka Hukum Tata Negara itu menetapkan tugas (taakstelling) sedangkan Hukum Administrasi Negara itu melaksanakan apa yang telah ditentukan oleh Hukum Tata Negara (taakverwezenlijking).
Menurut Van Vollenhoven, secara teoretis Hukum Tata Negara adalah keseluruhan peraturan hukum yang membentuk alat perlengkapan Negara dan menentukan kewenangan alat-alat perlengkapan Negara tersebut, sedangkan Hukum Administrasi Negara adalah keseluruhan ketentuan yang mengikat alat-alat perlengkapan Negara, baik tinggi maupun rendah ketika alat-alat itu akan menggunakan kewenangan ketatanegaraan. Pada pihak yang satu terdapatlah hukum tata negara sebagai suatu kelompok peraturan hukum yang mengadakan badan-badan kenegaraan, yang memberi wewenang kepada badan-badan itu, yang membagi pekerjaan pemerintah serta memberi bagian-bagian itu kepada masing-masing badan tersebut yang tinggi maupun yang rendah. Hukum Tata Negara menurut Oppenheim yaitu memperhatikan negara dalam keadaan tidak bergerak (staat in rust). Pada pihak lain terdapat Hukum Administrasi negara sebagai suatu kelompok ketentuan-ketentuan yang mengikat badan-badan yang tinggi maupun rendah bila badan-badan itu menggunakan wewenangnya yang telah diberi kepadanya oleh hukum tata negara itu. Hukum Administrasi negara itu menurut Oppenheim memperhatikan negara dalam keadaan bergerak (staat in beweging).
Tidak ada pemisahan tegas antara hukum tata Negara dan hukum administrasi. Terhadap hukum tata Negara, hukum administrasi merupakan perpanjangan dari hukum tata Negara. Hukum administrasi melengkapi hukum tata Negara, disamping sebagai hukum instrumental (instrumenteel recht) juga menetapkan perlindungan hukum terhadap keputusan – keputusan penguasa.
Yang menjadi sulit adalah ketika membicarakan distribusi kewenangan dari pejabat administrasi negara, karena ketika kita menganalisis yang akan bertemu dengan teori steufen bau des recht nya Hans Kelsen mau tidak mau kita akan melihat tata urutan perUUan mulai dari Norma dasar (grundnorm) yg merupakan norma tertinggi sampai kepada norma yang paling bawah dengan melakukan analisis sinkronisasi vertikal. Ketika membicarakan hal itu semuanya akan menjadi abu-abu antar HAN dengan HTN. Akan tetapi mudahnya kita lihat saja kalau ujung tombaknya HTN adalah Konstitusi, sementara Ujung tombaknya HAN adalah kewenangan.
Ketika kita berbicara kewenangan kita akan membicarakan kedua konsep HAN yaitu HAN HETERONOM ( bersumber pada UUD, Tap MPR, dan UU, yakni hukum yang mengatur seluk beluk organisasi dan fungsi administrasi negara) dan HAN OTONOM ( adalah hukum operasional yang dicipta oleh Pemerintah dan Administrasi Negara sendiri). Ketika melihat kedua definisi tersebut maka dapat disimpulkan kalau HAN OTONOM sebagai pengopersionalisasian kewenangan bersumber pada HAN HETERONOM.
HTN bisa dikatakan sebagai dasar dai HAN namun pada penyelenggaraan pemerintahan HAN akan lebih luas daripada HTN karena HAN yang mempunyai kewenangan dalam pelaksanaan pemerintahan akan mempunyai kebijakan-kebijakan lain, beschiking dan freis ermesen yang akan digunakan untuk menjalankan pemerintahan sesuai dengan amanat perUUan dan sesuai dengan asas-asas pemerintahan. Terkadang tindakan pejabat administrasi negara secara sepihak diperlukan ketika keadaan mendesak dan perUUan belum ada yang mengatur akan hal itu.
Untuk pengesahan UU pakar hukum administrasi negara FHUI Prof. Arifin Soeria Atmadja mengatakan bahwa UU yang diundangkan tanpa pengesahan Presiden tidak dapat dibenarkan dari sisi HAN. Secara khusus, ia mengomentari UU No.17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang ia nilai asal jadi baik dari segi substansi maupun formalitasnya.
"Ini kita lihat dari substansi dan prosedur pembuatannya di mana UU ini tidak ditandatangani oleh presiden. Sedangkan, naskah UU itu dimuat dengan kop Presiden. Dari sisi hukum administrasi negara, ini tidak benar. Bagaimana suatu UU yang tidak ditandatangani oleh Presiden dimuat dalam kop Presiden?" ucapnya saat pengukuhan gelar doktor bidang hukum kepada Ronny S.H. Bako di Depok.
2. Hukum Administrasi Negara dengan Hukum Pidana
Romeyn berpendapat bahwa hukum Pidana dapat dipandang sebagai bahan pembantu atau “hulprecht” bagi hukum tata pemerintahan, karena penetapan sanksi pidana merupakan satu sarana untuk menegakkan hukum tata pemerintahan, dan sebaliknya peraturan-peraturan hukum di dalam perundang-undangan administratif dapat dimasukkan dalam lingkungan hukum Pidana. Sedangkan E. Utrecht mengatakan bahwa Hukum Pidana memberi sanksi istimewa baik atas pelanggaran kaidah hukum privat, maupun atas pelanggaran kaidah hukum publik yang telah ada.
Hukum administrasi materiil terletak diantara hukum privat dan hukum pidana. Hukum administrasi dapat dikatakan sebagai “hukum antara” (Poly-Juridisch Zakboekje h. B3/4). Sebagai contoh Izin Bangunan. Dalam memberikan izin penguasa memperhatikan segi-segi keamanan dari bangunan yang direncanakan. Dalam hal demikian, pemerintah menentukan syarat-syarat keamanan. Disamping itu bagi yang tidak mematuhi ketentuan-ketentuan tentang izin bangunan dapat ditegakkan sanksi pidana. W.F. Prins mengemukakan bahwa “hampir setiap peraturan berdasarkan hukum administrasi diakhiri in cauda venenum dengan sejumlah ketentuan pidana (in cauda venenum secara harfiah berarti ada racun di ekor/buntut).
3. Hukum Administrasi Negara dengan Hukum Perdata
Menurut Paul Scholten sebagaimana dikutip oleh Victor Situmorang bahwa Hukum Administrasi Negara itu merupakan hukum khusus hukum tentang organisasi negara dan hukum perdata sebagai hukum umum. Pandangan ini mempunyai dua asas yaitu pertama, negara dan badan hukum publik lainnya dapat menggunakan peraturan-peraturan dari hukum perdata, seperti peraturan-peraturan dari hukum perjanjian. Kedua, adalah asas Lex Specialis derogaat Lex generalis, artinya bahwa hukum khusus mengesampingkan hukum umum, yaitu bahwa apabila suatu peristiwa hukum diatur baik oleh Hukum Administrasi Negara maupun oleh hukum Perdata, maka peristiwa itu diselesaikan berdasarkan Hukum Administrasi negara sebagai hukum khusus, tidak diselesaikan berdasarkan hukum perdata sebagai hukum umum.
Jadi terjadinya hubungan antara Hukum Administrasi Negara dengan Hukum Perdata apabila 1) saat atau waktu terjadinya adopsi atau pengangkatan kaidah hukum perdata menjadi kaidah hukum Administrasi Negara, 2) Badan Administrasi negara melakukan perbuatan-perbuatan yang dikuasasi oleh hukum perdata, 3) Suatu kasus dikuasai oleh hukum perdata dan hukum administrasi negara maka kasus itu diselesaikan berdasarkan ketentuan-ketentuan Hukum Administrasi Negara.
4. Hukum Administrasi Negara dengan Ilmu Administrasi Negara
Sebagaimana istilah administrasi, administrasi negara juga mempunyai berbagai macam pengertian dan makna. Dimock dan Dimock, menyatakan bahwa sebagai suatu studi, administrasi negara membahas setiap aspek kegiatan pemerintah yang dimaksudkan untuk melaksanakan hukum dan memberikan pengaruh pada kebijakan publik (public policy); sebagai suatu proses, administrasi negara adalah seluruh langkah-langkah yang diambil dalam penyelesaian pekerjaan; dan sebagai suatu bidang kemampuan, administrasi negara mengorganisasikan dan mengarahkan semua aktivitas yang dikerjakan orang-orang dalam lembaga-lembaga publik.
Kegiatan administrasi negra tidak dapat dipisahkan dari kegiatan politik pemerintah, dengan kata lain kegiatan-kegiatan administrasi negara bukanlah hanya melaksanakan keputusan-keputusan politik pemerintah saja, melainkan juga mempersiapkan segala sesuatu guna penentuan kebijaksanaan pemerintah, dan juga menentukan keputusan-keputusan politik.
Senin, 14 September 2009
Jumat, 11 September 2009
PENGAWASAN BERDASARKAN UNDANG UNDANG NO. 32 TAHUN 2004
Pengawasan yang dianut menurut Undang-Undang No. 32 Tahun 2004, meliputi dua bentuk pengawasan, yakni pengawasan atas pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah dan pengawasan terhadap peraturan daerah dan peraturan kepala daerah. Pengawasan ini dilaksanakan oleh aparat pengawas intern pemerintah. Hasil pembinaan dan pengawasan tersebut digunakan sebagai bahan pembinaan selanjutnya oleh pemerintah dan dapat digunakan sebagai bahan pemeriksaan oleh Badan Pemeriksa Keuangan.
Pengawasan atas penyelenggaraan pemerintah daerah adalah proses kegiatan yang ditujukan untuk menjamin agar pemerintah daerah berjalan sesuai dengan rencana dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pengawasan yang dilaksanakan pemerintah terkait dengan penyelenggaraan urusan pemerintahan dan utamanya terhadap peraturan daerah dan peraturan kepala daerah. Dalam hal pengawasan terhadap rancangan peraturan daerah dan peraturan kepala daerah, pemerintah melakukan dua cara sebagai berikut :
a. Pengawasan terhadap rancangan peraturan daerah, yaitu terhadap rancangan pengaturan aerah yang mengatur pajak daerah, retribusi daerah, APBD, dan RUTR, sebelum disahkan oleh kepala daerah terlebih dahulu dievaluasi oleh Menteri Dalam Negeri untuk Reperda Provinsi, dan oleh Gubernur terhadap Reperda Kabupaten/Kota. Mekanisme ini dilakukan agar pengaturan tentang hal-hal tersebut dapat mencapai daya guna dan hasil guna yang optimal.
b. Pengawasan terhadap semua peraturan daerah di luar yang termuat di atas, yaitu setiap peraturan daerah wajib disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri untuk Provinsi dan Gubernur untuk Kabupaten/Kota, untuk memperoleh klarifikasi, terhadap peraturan daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan yang lebih tinggi dapat dibatalkan sesuai mekanisme yang berlaku.
Dalam rangka mengoptimalkan fungsi pembinaan dan pengawasan, pemerintah dapat menerapkan sanksi kepada penyelenggara pemerintahan daerah apabila ditemukan adanya penyimpangan dan pelanggaran oleh penyelenggara pemerintah daerah tersebut. Sanksi dimaksud antara lain berupa penataan kembali suatu daerah otonom, pembatalan pengangkatan pejabat, penangguhan dan pembatalan berlakunya suatu kebijakan daerah baik peraturan daerah, keputusan kepala daerah, dan ketentuan lain yang ditetapkan daerah serta dapat memberikan sanksi pidana yang diproses sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Inspektorat/ Bawasda Provinsi melakukan pengawasan terhadap:
1. Pelaksanaan pembinaan atas penyelenggaraan pemerintah daerah Kabupaten/Kota.
2. Pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah Provinsi.
3. Pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah Kabupaten/Kota.
Dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, dikenal dengan tiga bentuk pengawasan, antara lain:
I. Pengawasan umum adalah suatu jenis pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap segala kegiatan pemerintahan daerah dengan baik. Pengawasan umum terhadap pemerintahan daerah dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri dan Gubernur/Bupati/Walikota atau kepala daerah sebagai wakil pemerintah di daerah yang bersangkutan.
II. Pengawasan preventif dilakukan terhadap suatu rancangan peraturan daerah atau sebelum suatu peraturan daerah disahkan dan berlaku. Secara normatif pengawasan preventif dalam UU no. 5/1974 lebih baik dari pengawasan preventif yang diatur dalam UU no. 32/2004. Hal ini disebabkan karena dalam UU no. 5/1974 sanksi yang diatur lebih tegas dibanding UU no. 32/2004 yang tidak mengatur tentang sanksi dari pengawasan preventif. Sedangkan penghapusan pengawasan preventif terhadap perda dalam UU no. 22/1999 menjadi sebab terjadinya kekacauan dalam perda.
III. Pengawasan represif merupakan suatu paksaan pemerintah terhadap daerah dalam rangka menjaga keselarasan antara otonomi daerah dengan sistem Negara kesatuan yang dianut Indonesia serta menjaga rasa keadilan masyarakat. Secara normatif terdapat kekurangan dalam rumusan pengawasan represif menurut UU no. 5/1974. Kekurangan ini terletak dalam bentuk sanksi yang berupa penangguhan terhadap berlakunya perda. Hal ini kurang tepat karena penangguhan lebih sesuai bila dimasukan ke dalam salah satu bentuk sanksi pengawasan preventif Sedangkan pengawasan represif dalam UU no. 22/1999 dan UU no. 32/2004 lebih baik daripada UU no. 5/1974.
Pengawasan atas penyelenggaraan pemerintah daerah adalah proses kegiatan yang ditujukan untuk menjamin agar pemerintah daerah berjalan sesuai dengan rencana dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pengawasan yang dilaksanakan pemerintah terkait dengan penyelenggaraan urusan pemerintahan dan utamanya terhadap peraturan daerah dan peraturan kepala daerah. Dalam hal pengawasan terhadap rancangan peraturan daerah dan peraturan kepala daerah, pemerintah melakukan dua cara sebagai berikut :
a. Pengawasan terhadap rancangan peraturan daerah, yaitu terhadap rancangan pengaturan aerah yang mengatur pajak daerah, retribusi daerah, APBD, dan RUTR, sebelum disahkan oleh kepala daerah terlebih dahulu dievaluasi oleh Menteri Dalam Negeri untuk Reperda Provinsi, dan oleh Gubernur terhadap Reperda Kabupaten/Kota. Mekanisme ini dilakukan agar pengaturan tentang hal-hal tersebut dapat mencapai daya guna dan hasil guna yang optimal.
b. Pengawasan terhadap semua peraturan daerah di luar yang termuat di atas, yaitu setiap peraturan daerah wajib disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri untuk Provinsi dan Gubernur untuk Kabupaten/Kota, untuk memperoleh klarifikasi, terhadap peraturan daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan yang lebih tinggi dapat dibatalkan sesuai mekanisme yang berlaku.
Dalam rangka mengoptimalkan fungsi pembinaan dan pengawasan, pemerintah dapat menerapkan sanksi kepada penyelenggara pemerintahan daerah apabila ditemukan adanya penyimpangan dan pelanggaran oleh penyelenggara pemerintah daerah tersebut. Sanksi dimaksud antara lain berupa penataan kembali suatu daerah otonom, pembatalan pengangkatan pejabat, penangguhan dan pembatalan berlakunya suatu kebijakan daerah baik peraturan daerah, keputusan kepala daerah, dan ketentuan lain yang ditetapkan daerah serta dapat memberikan sanksi pidana yang diproses sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Inspektorat/ Bawasda Provinsi melakukan pengawasan terhadap:
1. Pelaksanaan pembinaan atas penyelenggaraan pemerintah daerah Kabupaten/Kota.
2. Pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah Provinsi.
3. Pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah Kabupaten/Kota.
Dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, dikenal dengan tiga bentuk pengawasan, antara lain:
I. Pengawasan umum adalah suatu jenis pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap segala kegiatan pemerintahan daerah dengan baik. Pengawasan umum terhadap pemerintahan daerah dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri dan Gubernur/Bupati/Walikota atau kepala daerah sebagai wakil pemerintah di daerah yang bersangkutan.
II. Pengawasan preventif dilakukan terhadap suatu rancangan peraturan daerah atau sebelum suatu peraturan daerah disahkan dan berlaku. Secara normatif pengawasan preventif dalam UU no. 5/1974 lebih baik dari pengawasan preventif yang diatur dalam UU no. 32/2004. Hal ini disebabkan karena dalam UU no. 5/1974 sanksi yang diatur lebih tegas dibanding UU no. 32/2004 yang tidak mengatur tentang sanksi dari pengawasan preventif. Sedangkan penghapusan pengawasan preventif terhadap perda dalam UU no. 22/1999 menjadi sebab terjadinya kekacauan dalam perda.
III. Pengawasan represif merupakan suatu paksaan pemerintah terhadap daerah dalam rangka menjaga keselarasan antara otonomi daerah dengan sistem Negara kesatuan yang dianut Indonesia serta menjaga rasa keadilan masyarakat. Secara normatif terdapat kekurangan dalam rumusan pengawasan represif menurut UU no. 5/1974. Kekurangan ini terletak dalam bentuk sanksi yang berupa penangguhan terhadap berlakunya perda. Hal ini kurang tepat karena penangguhan lebih sesuai bila dimasukan ke dalam salah satu bentuk sanksi pengawasan preventif Sedangkan pengawasan represif dalam UU no. 22/1999 dan UU no. 32/2004 lebih baik daripada UU no. 5/1974.
Hak Pengelolaan Tanah
Menurut Pasal 1 ayat (3) Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1999 Hak Pengelolaan adalah hak menguasai dari Negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegangnya. Sedangkan berdasarkan Penjelasan Pasal 2 ayat (3) huruf f Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 Hak Pengelolaan adalah hak menguasai dari Negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegangnya, antara lain berupa perencanaan dan peruntukan tanah, penggunaan tanah untuk keperluan pelaksanaan tugasnya, penyerahan bagian dari tanah tersebut kepada pihak ketiga dan atau bekerjasama dengan pihak ketiga. Bagian-bagian tanah Hak Pengelolaan tersebut dapat diberikan kepada pihak lain dengan Hak Milik, Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai. Pemberiannya dilakukan oleh Pejabat Badan Pertanahan Nasional yang berwenang, atas usul pemegang Hak Pengelolaan yang bersangkutan. Dalam Pasal 67 ayat (1) Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 diatur mengenai siapa saja yang dapat diberikan Hak Pengelolaan, yaitu :
Hak Pengelolaan dapat diberikan kepada :
1. Instansi Pemerintah termasuk Pemerintah Daerah
2. Badan Usaha Milik Negara
3. Badan Usaha Milik Daerah
4. PT. Persero
5. Badan Otorita
6. Badan-badan hukum Pemerintah lainnya yang ditunjuk Pemerintah.
Pada Pasal 67 ayat (2) ditambahkan ketentuan pemberian haknya yaitu :
“Badan-badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan Hak Pengelolaan sepanjang sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya berkaitan dengan pengelolaan tanah.”
Sedangkan subjek dari Hak Pengelolaan adalah badan-badan hukum, disebutkan dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963 yaitu : [3]
1. bank-bank yang didirikan oleh Negara
2. perkumpulan-perkumpulan koperasi pertanian
3. badan-badan keagamaan
4. badan-badan sosial.
Mengenai tatacara peralihan hak diatas tanah HPL kepada pihak ketiga dulu diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1977 Tentang Tatacara Permohonan Dan Penyelesaian Pemberian Bagian-Bagian Tanah Hak Pengelolaan Serta Pendaftarannya (sudah dicabut dengan Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala BPN Nomor 9 Tahun 1999 tetapi disertakan dalam penulisan ini karena apa yang diatur di dalamnya belum ada ketentuannya dalam peraturan penggantinya)
a. Pasal 3 ayat (1) menyatakan : Setiap penyerahan penggunaan tanah yang merupakan bagian dari tanah Hak Pengelolaan kepada pihak ketiga oleh pemegang Hak Pengelolaan, baik yang disertai dengan pendirian bangunan diatasnya, wajib dilakukan dengan pembuatan perjanjian tertulis antara pihak pemegang Hak Pengelolaan dengan pihak ketiga yang bersangkutan.
b. Pasal 5 menyatakan : Hubungan hukum antara Lembaga, instansi, dan atau Badan atau Badan Hukum (milik) Pemerintah pemegang Hak Pengelolaan, yang didirikan atau ditunjuk untuk menyelenggarakan penyediaan tanah untuk berbagai jenis kegiatan yang termasuk dalam bidang pengembangan pemukiman dalam bentuk perusahaan, dengan tanah Hak Pengelolaan yang telah diberikan kepadanya, tidak menjadi hapus dengan didaftarkannya hak-hak yang diberikan kepada pihak ketiga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Peraturan ini pada Kantor Sub Direktorat Agraria setempat.
c. Pasal 7 menyatakan : Bagian-bagian tanah Hak Pengelolaan yang diberikan kepada Pemerintah Daerah, Lembaga, Instansi, Badan atau Badan Hukum Indonesia yang seluruh modalnya dimiliki oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah untuk pembangunan, dan pengembangan wilayah industri dan pariwisata, dapat diserahkan kepada pihak ketiga dan diusulkan kepada Menteri Dalam Negeri atau Gubernur / Kepala Daerah yang bersangkutan untuk diberikan dengan Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai, sesuai dengan rencana peruntukan dan penggunaan tanah yang telah dipersiapkan oleh pemegang Hak Pengelolaan yang bersangkutan.
d. Pasal 9 menyatakan : Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai sebagaimana termaksud dalam Pasal 7 tunduk pada ketentuan-ketentuan tentang hak-hak tersebut, sebagaimana termuat dalam Undang-Undang Pokok Agraria dan peraturan pelaksanaannya yang mengenai hak-hak itu serta syarat-syarat khusus yang tercantum di dalam surat perjanjian yang dimaksudkan dalam Pasal 3 dan Pasal 8.
e. Pasal 11 menyatakan : Terhadap tanah untuk keperluan Lembaga, Instansi Pemerintah atau Badan /Badan Hukum yang didirikan menurut Hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia yang seluruh modalnya dimiliki oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah, yang bergerak dalam kegiatan usaha-usaha sejenis dengan Perusahaan Industri dan Pelabuhan yang diberikan dengan Hak Pengelolaan dapat diperlakukan ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 sampai dengan Pasal 10 , yang ditegaskan di dalam surat keputusan pemberian Hak Pengelolaan yang bersangkutan.
Hak Pengelolaan dapat diberikan kepada :
1. Instansi Pemerintah termasuk Pemerintah Daerah
2. Badan Usaha Milik Negara
3. Badan Usaha Milik Daerah
4. PT. Persero
5. Badan Otorita
6. Badan-badan hukum Pemerintah lainnya yang ditunjuk Pemerintah.
Pada Pasal 67 ayat (2) ditambahkan ketentuan pemberian haknya yaitu :
“Badan-badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan Hak Pengelolaan sepanjang sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya berkaitan dengan pengelolaan tanah.”
Sedangkan subjek dari Hak Pengelolaan adalah badan-badan hukum, disebutkan dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963 yaitu : [3]
1. bank-bank yang didirikan oleh Negara
2. perkumpulan-perkumpulan koperasi pertanian
3. badan-badan keagamaan
4. badan-badan sosial.
Mengenai tatacara peralihan hak diatas tanah HPL kepada pihak ketiga dulu diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1977 Tentang Tatacara Permohonan Dan Penyelesaian Pemberian Bagian-Bagian Tanah Hak Pengelolaan Serta Pendaftarannya (sudah dicabut dengan Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala BPN Nomor 9 Tahun 1999 tetapi disertakan dalam penulisan ini karena apa yang diatur di dalamnya belum ada ketentuannya dalam peraturan penggantinya)
a. Pasal 3 ayat (1) menyatakan : Setiap penyerahan penggunaan tanah yang merupakan bagian dari tanah Hak Pengelolaan kepada pihak ketiga oleh pemegang Hak Pengelolaan, baik yang disertai dengan pendirian bangunan diatasnya, wajib dilakukan dengan pembuatan perjanjian tertulis antara pihak pemegang Hak Pengelolaan dengan pihak ketiga yang bersangkutan.
b. Pasal 5 menyatakan : Hubungan hukum antara Lembaga, instansi, dan atau Badan atau Badan Hukum (milik) Pemerintah pemegang Hak Pengelolaan, yang didirikan atau ditunjuk untuk menyelenggarakan penyediaan tanah untuk berbagai jenis kegiatan yang termasuk dalam bidang pengembangan pemukiman dalam bentuk perusahaan, dengan tanah Hak Pengelolaan yang telah diberikan kepadanya, tidak menjadi hapus dengan didaftarkannya hak-hak yang diberikan kepada pihak ketiga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Peraturan ini pada Kantor Sub Direktorat Agraria setempat.
c. Pasal 7 menyatakan : Bagian-bagian tanah Hak Pengelolaan yang diberikan kepada Pemerintah Daerah, Lembaga, Instansi, Badan atau Badan Hukum Indonesia yang seluruh modalnya dimiliki oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah untuk pembangunan, dan pengembangan wilayah industri dan pariwisata, dapat diserahkan kepada pihak ketiga dan diusulkan kepada Menteri Dalam Negeri atau Gubernur / Kepala Daerah yang bersangkutan untuk diberikan dengan Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai, sesuai dengan rencana peruntukan dan penggunaan tanah yang telah dipersiapkan oleh pemegang Hak Pengelolaan yang bersangkutan.
d. Pasal 9 menyatakan : Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai sebagaimana termaksud dalam Pasal 7 tunduk pada ketentuan-ketentuan tentang hak-hak tersebut, sebagaimana termuat dalam Undang-Undang Pokok Agraria dan peraturan pelaksanaannya yang mengenai hak-hak itu serta syarat-syarat khusus yang tercantum di dalam surat perjanjian yang dimaksudkan dalam Pasal 3 dan Pasal 8.
e. Pasal 11 menyatakan : Terhadap tanah untuk keperluan Lembaga, Instansi Pemerintah atau Badan /Badan Hukum yang didirikan menurut Hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia yang seluruh modalnya dimiliki oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah, yang bergerak dalam kegiatan usaha-usaha sejenis dengan Perusahaan Industri dan Pelabuhan yang diberikan dengan Hak Pengelolaan dapat diperlakukan ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 sampai dengan Pasal 10 , yang ditegaskan di dalam surat keputusan pemberian Hak Pengelolaan yang bersangkutan.
Langganan:
Postingan (Atom)